Sunday, April 22, 2007

Takdir dan Kebebasan

OLEH:
CHRISTINE, ANGELA ANASTASIA, ANITA RIJADI
(mahasiswa psikologi Unika Atmajaya Jakarta)

A. TAKDIR

Takdir adalah kejadian atau jalan yang tidak dapat dihindari, bisa juga diartikan sebagai kekuatan yang tidak dapat dikendalikan yang menentukan masa depan secara umum maupun pribadi. Takdir merupakan sebuah konsep yang mempercayai bahwa ada aturan tetap yang natural di alam semesta.

Dalam bahasa Inggris, takdir memiliki 2 pengertian (term), yaitu:

  1. Destiny

Destiny adalah alur kejadian tetap yang tidak dapat diubah maupun dihindari. Berdasarkan akar katanya, destiny memiliki akar kata yang sama dengan destination yaitu tujuan (destine). Arti destine adalah untuk mengarahkan sesuatu ke akhir yang sudah ditentukan. Tanpa keinginan dan partisipasi subyek, tidak akan ada pengarahan. Destiny tidak dapat dipaksakan, berbeda dengan fate.

Takdir ini sudah ditetapkan sebelumnya, artinya seseorang memilih destiny-nya dengan mengambil jalan yang berbeda di sepanjang kehidupan mereka tetapi pada akhirnya mereka menyadari bahwa mereka memang harus mengambil pilihan itu dan dalam prosesnya, mereka tidak dapat memutar waktu dan mengganti pilihan.

  1. Fate

Pada zaman Yunani kuno, fate tidak dapat ‘dikalahkan’. Bahkan dewa-dewi pun harus mematuhinya. Secara umum fate adalah kejadian obyektif, kesempatan-kesempatan, batasan-batasan yang ada di depan kita, keadaan yang tidak dapat kita kontrol dan kita sendiri terikat di dalamnya. Kadang-kadang kita tidak dapat mengerti bagaimana hal itu terjadi tapi fate adalah bagian dari kehidupan kita yang membentuk diri kita.

Fate sendiri artinya adalah hasil dari perjalanan destiny.

Di dalam “In The Urantia Book”, destiny abadi manusia adalah untuk menemukan Tuhan melalui setiap pilihan di dalam hidup mereka. Tapi fate sementara manusia ditentukan berdasarkan keputusan-keputusan pribadinya, baik yang bersifat baik maupun buruk.

Takdir menurut Agama Islam

Bagi agama Islam takdir adalah ketetapan yang ditentukan Allah bagi makhluk hidup bahkan sebelum dunia dijadikan. Allah telah menggariskan segala sesuatunya dari awal sampai akhir. Perihal takdir ini, tidak ada satu makhluk hidup pun yang mengetahuinya, hanya Allah saja yang mengetahuinya. Oleh sebab itu, sebagai makhluk hidup, manusia harus berusaha semaksimal mungkin dan tidak hanya pasrah pada takdir, karena manusia tidak pernah tahu apa yang menjadi takdir Allah.

Ada empat tingkatan dari takdir :

  1. Al-`Ilmu : hanya Allah yang mengetahui segala sesuatunya, baik secara global maupun terperinci.
  2. Al-Kitabah : selain mengetahui segala sesuatunya, Allah mencatatnya dalam sebuah kitab.
  3. Al-Masyiah (kehendak) : kehendak Allah ini bersifat umum. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi di alam semesta ini yang bukan merupakan kehendak Allah.
  4. Al-Khalqu : segala sesuatu yang ada di alam semesta ini merupakan hasil ciptaan dan milik Allah. Allah-lah yang menguasai segala sesuatunya.

Takdir menurut Agama Kristen

Agama Kristen, baik Protestan maupun Katolik, tidak mengenal konsep takdir. Mereka lebih memilih menggunakan konsep “rencana Allah”. Mereka beranggapan bahwa segala sesuatu terjadi di dalam rencana Allah dan segala sesuatu diciptakan untuk sebuah tujuan tertentu. Jadi, tidak ada yang namanya kebetulan. Semuanya telah dipilih dan ditentukan oleh Allah.

Mengenai doktrin keselamatan pun, agama Kristen mengenal konsep yang dinamakan predestinasi, yang nanti akan dijelaskan lebih lanjut.

B. KEBEBASAN

Pada zaman kuno, banyak orang berpendapat bahwa pengaturan atas kehidupan dan keberadaan manusia itu tidak ditentukan oleh manusia sepenuhnya. Ada kekuatan-kekuatan lebih tinggi juga yang ikut mengatur kehidupan manusia, yaitu:

  1. Hidup insani dikuasai oleh dewata.

Dalam banyak karya sastra zaman kuno, keyakinan ini terungkap. Misalnya dalam “Ilias”, gubahan penyair Yunani HOMEROS.

  1. Hidup insani dikuasai oleh “fatum” atau “nasib”.

Pemikiran mengenai hal tersebut muncul pada zaman kuno dan Abad Pertengahan maupun juga di zaman modern ini. Pemikiran tersebut khususnya digunakan untuk menerangkan kejadian tragis dalam kehidupan manusia.

  1. Hidup insani dikuasai oleh dunia.

Maksudnya adalah hidup manusia itu dikuasai oleh situasi dan kondisi orang yang bersangkutan. Meskipun situasi dan kondisi itu tidak dapat seluruhnya diatur oleh manusia sendiri.

Manusia tidak mungkin menyadari kebebasannya jika ia tidak melakukan sesuatu, jika ia tidak menjelmakan kemungkinan kebebasannya ke dalam aksi-aksi yang konkret. Hal yang sama juga berlaku bagi pengenalan diri. Manusia mengenal dirinya sendiri di dalam pertemuan dan pergaulan dengan dunia dan orang-orang lain. Maka, hanya dengan menghayati diri sendiri secara konkret di dalam dunia, orang mengenal dirinya. Begitu pula manusia hanya dapat menyadari kebebasannya kalau ia dapat mewujudkan kebebasannya itu dalam perbuatan-perbuatannya yang bersifat “menguasai dunia” dan “menaklukkan bumi”. Oleh karena itu penemuan-penemuan besar selama 3 abad terakhir ini di bidang ilmu pengetahuan dan teknik telah memainkan peranan besar dalam perkembangan kesadaran akan kebebasan.

Pada dasarnya manusia memiliki kehendak dan intelegensi. Karena terjadi interaksi terus-menerus antara intelegensi dan kehendak itu maka manusia menjadi makhluk yang bebas. Semua kehendak manusia mengarah pada kebaikan untuk mencapai kebahagiaan.

Kebaikan terbagi menjadi 3, yaitu:

  1. Kebaikan fisik, adalah kebaikan yang baik untuk manusia sebagai suatu organisme di dalam kosmos.
  2. Kebaikan moral, adalah kebaikan yang baik untuk manusia sebagai ‘ada’ yang bebas.
  3. Kebaikan semu, adalah kejahatan untuk manusia kalau ia dipandang dalam keseluruhannya, tapi tampak sebagai kebaikan untuk suatu tendensi yang lebih rendah.
Sedangkan kebahagiaan digolongkan dalam 2 aspek, yaitu:
  1. Kebahagiaan obyektif

Kebahagiaan tersebut berada dalam Tuhan. Merupakan suatu kebahagiaan yang sifatnya mutlak, kehendak manusia, menurut kodratnya sendiri, dan cenderung kepada-Nya.

  1. Kebahagiaan subyektif

Individu meletakkan kebahagiaannya pada realitas-realitas lain. Sebagian ada yang mengarah pada Tuhan, sebagian lagi tidak mengarah pada Tuhan.

Kehendak manusia diwujudkan dalam tindakan. Tindakan-tindakan yang diperbuatnya memiliki tujuan dan nilai-nilainya sendiri. Perbedaan dari tujuan dan nilai.

TUJUAN

NILAI

o Obyek dari suatu kecenderungan.

o Apa yang membangkitkan suatu reaksi afektivitas, suatu feeling.

o Termasuk dalam bidang nafsu.

o Termasuk dalam bidang afektivitas.

o Untuk menspesifikasikan bahkan mengkualifikasikan tentang nilai.

Contoh : kalau ada teman sedang mengalami kesulitan finansial, saya akan membantunya. Tujuannya adalah membantu, namun bantuan tersebut dianggap sebagai nilai kemurahan hati dan kesetiaan.

Dinamisme kehendak merupakan suatu kemampuan dari roh yang ciri khasnya ialah dipimpin atau diterangi oleh intelegensi. Dinamisme kehendak meliputi:

  1. Daya tarik

Yang dijalankan oleh suatu hal baik atas kehendak. Daya tarik dinamakan godaan jikalau bersifat jelek dari hal yang seharusnya.

  1. Memeriksa

Hal baik itu yang menarik perhatian.

  1. Mempertimbangkan

Pro dan kontra suatu tindakan di bawah cahaya intelegensi. Manusia dapat mempengaruhi perjuangan atau pertempuran motif-motif itu dalam diri manusia.

  1. Memutuskan

Aktivitas yang bersifat intelektual, situasi yang hanya obyektif, akibat dan tekanan sosial atau pendidikan adalah factor yang mempengaruhi keputusan kita, namun tidak mendeterminasikannya.

Argumen klasik tentang kebebasan:

  1. Argumen Persetujuan Umum

Sebagian besar orang percaya bahwa mereka memiliki kehendak bebas. Kontradiksi antara kebebasan dan determinisme membawa kita menuju pada kepercayaan yang terbentuk apabila ada sebagian orang yang mempelajari hal itu secara teoritis sampai pada suatu kesimpulan determinis. Dan kepercayaan tersebut sudah selayaknyalah memiliki fungsi praktis yang amat penting bagi manusia.

Dalam hubungan antara determinis dan kebebasan, kaum determinis sesungguhnya bertingkah laku seolah-olah mengakui kebebasan kehendak.

  1. Argumen Psikologis

Berdasarkan pengalaman sehari-hari, manusia menyadari bahwa ia adalah makhluk yang bebas. Kesadaran tersebut terbagi 2:

    1. Kesadaran Langsung atau Kebebasan

Dalam menentukan sesuatu, terdapat suatu persepsi nilai-nilai yang tidak memakai kata-kata atau gambaran. Hal ini dapat menerangkan mengapa orang tertentu mengatakan bahwa mereka kurang sadar akan sifat bebas dari setiap keputusan yang mereka ambil.

    1. Kesadaran Tak Langsung

Dalam hal mengagumi suatu hal, terdapat kebebasan. Kebebasan justru terdiri atas penguasaan rintangan-rintangan intern.

“Kita mempunyai kesan ‘bahwa kita bebas’ karena kita tidak sadar akan motif-motif yang menetukan kita. Motif-motif itu tidak kita sadar”. Itulah bentuk determinisme dari beberapa penganut Freud.

Suatu keputusan yang tampak diambil oleh si subyek secara terpaksa, tanpa diketahui motif yang menekannya, bukanlah suatu pilihan bebas, tetapi suatu tindakan kompulsif.

  1. Argumen Etis

Menurut J. Macquarrie, kebebasan adalah suatu pengandaian dari pelaksanaan penilaian rasional, pembedaan antara yang benar dan yang salah, tetapi mungkin bahkan lebih jelas lagi bahwa kebebasan adalah suatu pengandaian kehidupan moral.

Menurut H. Bergson, kebebasan merupakan salah satu dari Les donnees immediates de la conscience (data-data langsung dari kesadaran). Alasan-alasan dari determinisme kelihatan berlaku dan kuat hanya sejauh determinisme itu dipotong, terpisah, dari intuisi yang menghormati semua fakta.

Kesadaran akan Kebebasan dan Keterbatasan

Tak dapat disangkal bahwa pengalaman akan keterbatasan merupakan salah satu komponen di dalam pengalaman kita akan kebebasan. Dalam hal manusia yang memang makhluk ciptaan, keduanya terjalin, sebab kesadaran manusia akan kebebasannya mengandung unsur-unsur berikut:

  1. Ketidakpastian

Salah satu komponen esensial kebebasan manusia adalah permenungan, pertimbangan, dan keragu-raguan. Dengan timbang-menimbang, manusia mengambil jarak. Oleh karena itu perbuatan “mempertimbangkan” adalah perbuatan yang jelas sekali berbeda dengan perbuatan spontan yang tidak perlu dipersoalkan.

  1. Penghayatan akan Halangan dan Batasan

Kebebasan kita terdapat sebagai pergumulan yang terus-menerus dengan kesulitan, rintangan serta aral-aral yang melintang. Ada yang berasal dari diri kita sendiri, ada juga yang berasal dari luar. Perjuangan tersebut dengan segala macam penghalang menyadarkan kita akan kebebasan kita.

  1. Kesalahan dan Rasa Bersalah

Manusia menghayati kebebasannya sebagai semacam kekurangan terhadap dirinya yang sebenarnya dikehendaki dan diidam-idamkannya. Andaikata dalam seluruh sejarah bangsa manusia tidak terdapat satu kesalahan moral pun, apakah manusia akan mempunyai kesadaran kebebasan?

Sehubungan dengan itu menariklah anggapan NEMESIUS, Uskup Emesa di Siria. Dikatakannya bahwa manusia pertama hidup dalam “ektase”, artinya di luar dirinya sendiri secara terus-menerus. Manusia pertama bukan dapat mati dan bukan juga tak dapat mati. Mortalitas atau immortalitasnya akan tergantung pada pilihan Adam. Tetapi Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, lalu menyadari dirinya sendiri: “Maka terbukalah mata mereka dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang” (Kej 3:7). Ini berarti bahwa dosalah yang telah menyadarkan manusia akan dirinya sendiri dan akan adanya manusia di dunia.

Free Will (Kehendak Bebas) dan Agama

Ajaran agama dan kehendak bebas terkadang saling bertentangan. Agama berpendapat bahwa Allah mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi serta setiap pilihan yang akan manusia ambil. Hal ini terlihat seperti masa depan telah ditentukan oleh kebenaran-kebenaran yang pasti di masa lalu dan membatasi kebebasan manusia.

Di bawah ini ada pandangan beberapa agama mengenai kehendak bebas :

  1. Kristen

Di dalam teologi Kristen, Allah tidak hanya mengetahui segalanya tetapi juga berkuasa sepenuhnya. Hal ini berarti Allah tidak hanya mengetahui apa yang akan menjadi pilihan manusia, tetapi juga dapat memilih apa yang akan dilakukan oleh manusia — Allah mengetahui faktor apa saja apa yang akan mempengaruhi pilihan manusia dan dengan ini Allah juga mengontrol faktor-faktor tersebut.

Namun ada pihak yang berpendapat berbeda. Allah memang berkuasa sepenuhnya tetapi Ia tetap mengizinkan manusia mengambil keputusan dan menanggung konsekuensi dari keputusannya tersebut. Pihak ini berpendapat bahwa pengetahuan akan masa depan dengan menyebabkan suatu peristiwa adalah dua hal yang sama sekali berbeda. Bagi mereka, doktrin predestinasi, tidak berarti Allah memilih orang yang akan menerima keselamatan dan sisanya tidak selamat, tetapi Allah secara spesifik mengetahui siapa saja yang akan memilih untuk menerima keselamatan tersebut.

Agama Kristen Protestan (Calvinisme) berpegang teguh dalam doktrin predestinasi, dalam arti Allah memilih siapa saja yang akan diselamatkan bahkan sejak dunia dijadikan. Mereka mengutip Efesus 1:4, ”…dan dari Tuhan Yesus Kristus, yang telah menyerahkan diri-Nya karena dosa-dosa kita, untuk melepaskan kita dari dunia jahat yang sekarang ini, menurut kehendak Allah dan Bapa kita.” Argumentasi mereka mengatakan bahwa jika manusia dapat dengan bebas merespon terhadap anugerah keselamatan, maka keselamatan bergantung sebagian kepada manusia dan kekuasaan Allah tidak benar-benar mutlak dan universal.

Sedangkan penekanan agama Kristen Katolik mengenai kehendak bebas dan anugerah keselamatan berbeda dengan penekanan tentang predestinasi di dalam Kristen Protestan.

  1. Islam

Agama Islam mengajarkan bahwa Allah Maha Tahu dan berkuasa sepenuhnya dalam kehidupan manusia. Namun, terdapat tradisi yang kuat mengenai kehendak bebas. Menurut Alqur’an, ”tidak ada manusia yang akan menanggung beban orang lain” dan di berbagai tempat di Alqur’an disebutkan bahwa manusia memilih untuk berbuat baik atau jahat.

  1. Yahudi

Bagi agama Yahudi, Allah memberikan kebebasan bagi manusia dalam bertindak. Jika tidak, seseorang tidak dapat dianggap baik atau jahat atas tindakan yang tidak dapat dikontrolnya. Agar manusia benar-benar dapat bebas memilih, manusia tidak hanya harus memiliki inner free will tetapi juga situasi atau lingkungan yang menciptakan kemungkinan untuk memilih berbuat baik atau jahat. Oleh sebab itu, Allah menciptakan dunia yang memungkinkan baik kebaikan maupun kejahatan dapat dengan bebas beroperasi.

  1. Budha

Agama Budha mengajarkan tentang “karma”, yang berarti tindakan yang disengaja, dan penganut agama Budha percaya bahwa setiap karma (tindakan yang disengaja) akan menghasilkan buah karma (menghasilkan efek / akibat di masa depan).

Ajaran Budha mengenai karma sangatlah menarik karena hal ini merupakan perpaduan antara hubungan sebab-akibat dan kehendak bebas. Jika segala sesuatunya benar-benar ada sebabnya, maka tidak akan mungkin seseorang akan mengembangkan suatu kemampuan — tingkah laku manusia telah ditentukan sebelumnya. Namun, jika tidak ada hubungan sebab-akibat, kemampuan manusia akan menjadi sia-sia karena segala sesuatunya pasti berubah tanpa adanya suatu alasan tertentu. Tetapi karena adanya hubungan sebab-akibat dan kehendak bebas, manusia dapat mengembangkan kemampuan di dalam hidupnya.

Untuk mengembangkan kemampuan, seseorang perlu peka terhadap tiga hal mendasar:

a. Peka terhadap sebab-sebab di masa lalu,

b. Peka terhadap apa yang dilakukan di masa sekarang, serta

c. Peka terhadap kemungkinan hasil dari apa yang dilakukan di masa kini.

Kebebasan dan Determinisme

Determinisme adalah proposisi filosofis yang menyatakan bahwa setiap kejadian, termasuk di dalamnya tingkah laku dan pemikiran manusia telah ditentukan oleh hubungan sebab akibat berdasarkan kejadian di masa lalu. Tidak ada kejadian yang merupakan kebetulan maupun keajaiban, semuanya telah digariskan sebelumnya.

Free will (kehendak bebas) adalah konsep yang menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan dalam menentukan tingkah laku mereka sendiri.

Ada pihak yang mengganggap bahwa determinisme dan kehendak bebas adalah dua hal yang sama sekali berbeda dan tidak dapat disatukan. Namun ada yang beranggapan bahwa kedua hal ini bisa dikaitkan.

Paham yang mengganggap determinisme dan kehendak bebas tidak dapat disatukan adalah paham incompatibilism, sedangkan paham compatibilism mengganggap kehendak bebas manusia adalah bagian dari alam semesta yang deterministik.

Hard determinism menerima konsep determinisme dan incompatibilism serta menolak adanya kehendak bebas dari manusia, sedangkan soft determinism menerima konsep determinisme dan juga compatibilism.

Ada pandangan yang menjadi penengah, yang beranggapan bahwa masa lalu memiliki peran penting dalam tindakan, namun bukan menentukan. Pilihan-pilihan manusia adalah hasil dari banyak kemungkinan yang semuanya dipengaruhi, tidak ditentukan oleh masa lalu. Ketika seseorang dapat memilih dari segala kemungkinan yang ada, orang tersebut tidak dapat memilih pilihan yang tidak ada di dalam pikirannya—pilihan-pilihan manusia saat ini membatasi pilihannya di masa depan.

Filsuf Friedrich Schiller dan Rudolf Steiner berpendapat bahwa kehendak manusia pada awalnya tidak bebas. Manusia dapat bertindak secara rasional sepenuhnya dengan menaati dasar-dasar religius, etis dan prinsip-prinsip moral, di pihak lain, manusia juga dapat bertindak mengikuti dorongan-dorongan yang merupakan keinginan kedagingan dari dalam dirinya. Kehendak bebas bukanlah merupakan keadaan alamiah tetapi diperoleh melalui kegiatan refleksi diri dan juga keseimbangan antara tindakan rasional dan dorongan-dorongan di dalam dirinya.

Berikut adalah berbagai bentuk permasalahan determinisme dalam kaitannya dengan kebebasan:

  1. Ada suatu bentuk determinisme yang disebut determinisme fisik (determinisme hukum-hukum alam semesta sebagai sistem dunia material) yang menguasai kebebasan manusia, sehingga manusia tidak dapat melepaskan diri darinya; tindakan dan keputusan-keputusannya dideterminasikan oleh suatu jaringan halus faktor-faktor fisik. Kebebasan sendiri tidak menuntut suatu pelanggaran hukum-hukum determinisme yang menentukan alam semesta.

Kebebasan terjadi pada tingkat alasan-alasan atau motif-motif, dan bukan pada tingkat sebab-sebab fisik yang ada. Semua orang tahu bahwa sebab-sebab ini menghasilkan akibat-akibat; tetapi tetap adalah di bawah kemampuan individu untuk mengorganisir sebab-sebab itu sehingga nantinya dapat menghasilkan akibat-akibat yang dinginkan oleh individu tersebut.

Kebebasan bukanlah pilihan di antara dan di luar determinisme. Kebebasan itu sama luasnya dengan seluruh determinisme. Kebebasan ini ‘meng-eksistensi-kan’ determinisme sendiri secara aktif dan membuatnya bermakna dengan meliputinya. Ada pendapat yang mendukung pernyataan tersebut yang berasal dari ahli biologi J. Moretti, dalam bukunya Biologie et reflexion chretienne: “Kebebasan manusia bukan semacam retak dalam permainan determinisme-determinisme; ia merupakan sebuah hasil dari penguasan, pendidikan, kemenangan terhadap determinisme-determinisme itu.”

  1. Suatu konsepsi lain yang lebih berdasarkan biologi daripada fisika, berpendapat bahwa manusia telah diprogram sebelumnya secara begitu luas oleh berbagai faktor hereditas (gen-gen) sehingga tidak ada tempat untuk kegiatan-kegiatan yang memang bersifat bebas. Determinisme biologis ini didasarkan atas pengalaman universal dari ketergantungan keadaan psikologis pada keadaan biologis organisme manusia.

Jean Rostand berkata, “Semua unsur yang membentuk seseorang, baik maupun jelek, tergantung secara total pada orang tuanya, yang dari mereka molekul-molekul tertentu diterimanya, dan pada pengaruh-pengaruh luar yang diberikan kepadanya. Jadi, anugerah-anugerah dan hukuman-hukuman kita hanyalah hasil kebetulan saja.”

  1. Suatu sudut pandangan yang mirip dengan yang di atas mengatakan bahwa manusia begitu dideterminasikan oleh pelbagai faktor sosial sehingga ia tidak lain daripada hasil hubungan-hubungan sosial (determinisme sosiologis). Ada pendapat yang mengatakan bahwa manusia tidak bebas karena ia selalu dideterminasikan oleh lingkungan sosiologisnya sehingga keputusan-keputusan yang dianggap sebagai paling pribadi ditentukan oleh lingkungan sosial. Pengaruh dari lingkungan atau individu-individu tak dapat disangsikan, dan suatu determinisme itu tidaklah absolut, dan membiarkan suatu margin penting bagi kebebasan.
  2. Kadang-kadang bukan hanya ilmu pengetahuan manusia saja yang menyangkal kebebasan, terdapat juga suatu determinisme teologis tertentu. Problem ini terutama termasuk teologi dan filsafat ketuhanan. Sangat sering penganut determinisme ini meletakkan masalahnya secara salah, seakan-akan Tuhan bersaing dengan manusia, sambil memikirkan kegiatan dan pengetahuan Tuhan secara univok dengan perbuatan dan pengetahuan manusia. 2 alasan bahwa manusia tidak dideterminasi Allah:
    1. Kemahatahuan Allah

Allah tahu sebelumnya segala yang akan kita lakukan, dan apa yang diketahui sebelumnya oleh Allah harus direalisasikan secara mutlak.

    1. Kemahakuasaan Allah

Seandainya manusia bebas, ia tidak akan tergantung pada Allah. Padahal segala-galanya harus tergantung padanya sehingga manusia tidak mungkin bebas.

  1. Kita menghadapi apa yang dapat dinamakan determinisme yang muncul dari ketidaksadaran. Kita mempergunakan istilah “teori ala Freud” daripada “pandangan Freud”. Menurut banyak penganut Freud, terutama di antara kaum awam, seakan-akan manusia percaya, pada tingkat kesadarannya yang terang, bahwa kegiatannya bebas, sedangkan dalam kenyataan tindakannya merupakan akibat dari kecenderungan-kecenderungan instingtif yang pengaruh atas dirinya tidak disadarinya.

Orang kerapkali membuat 2 catatan dasar atas sistem Freud yang menandai dengan baik keterbatasan-keterbatasannya:

    1. Dari Pandangan Filsafat

Orang berkeberatan terhadap kecenderungan Freud yang sangat kuat pada materialisme, yang mendorongnya untuk mereduksikan dimensi-dimensi tertinggi manusia ke tingkat biologis.

    1. Dari Pandangan Ilmiah

Ada suatu kecenderungan Freud pada generalisasi-generalisasi yang kurang berdasar.

Determinisme dan kebebasan bersifat saling melengkapi, dapat dilihat dari keterangan-keterangan berikut:

  1. Kebebasan Mengandaikan Determinisme

Dari satu pihak harus dikatakan bahwa kebebasan manusia bukan hanya tidak “mengganggu”, tidak “mengacaukan” teraturnya alam, tetapi malah mengandaikan determinisme alam. Seandainya kebebasan tidak dapat memperhitungkan dan mengandalkan stabilitas alam, seandainya tiada determinisme di tempat kebebasan kita terjelma (sebagai kebebasan yang bersikon), maka kebebasan tidak dapat “melaksanakan diri” (tidak mungkin bagi kita memberi makna dan nilai kepada tindakan dan perbuatan kita).

Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa kebebasan manusia amat memerlukan determinisme alam. “Alam” itu tentunya tidak hanya terdapat di sekitar (di luar) manusia. Manusia sendiri pun termasuk alam, sejauh ia bersifat psiko-fisik.

  1. Determinisme Mengandaikan Kebebasan

Dari lain pihak determinisme atau teraturnya alam tidak dapat ditemukan kecuali oleh kesadaran manusia yang bebas. Seandainya manusia tidak bebas, seandainya ia hanya merupakan bagian dari alam saja, manusia psiko-fisik tetapi bukan rohani, maka “hukum alam” tidak ada. Untuk hukum konkret ini “Air mendidih kalau dipanaskan sampai 100 derajat Celcius” perlu kebebasan manusia. Pandangan tentang komplementaritas determinisme fisik dan kebebasan rohani tentu saja mengandaikan bahwa dunia fisika bukanlah sebuah dunia yang tak bergerak, kaku dan (dalam arti ini) “mati”.

Gagasan bahwa determinisme dan kebebasan saling melengkapi adalah gagasan yang dikembangkan oleh aliran filsafat masa kin, yakni fenomenologi. Manusia tidak dapat dijabarkan menjadi bagian alam saja tetapi juga tidak seluruhnya lepas dari alam dunia jasmani. Oleh karena itu manusia menjadi bahan penyelidikan baik untuk ilmu-ilmu empiris yang berpedoman pada determinisme, maupun untuk filsafat dan teologi yang mengakui kebebasan.

Refleksi dari Kelompok

Kelompok kami percaya bahwa manusia memiliki kebebasan namun tidak mutlak. Di dalam kehidupan, manusia bebas memilih sesuai dengan keinginan mereka namun pilihan mereka tidak terlepas dari suatu kekuatan supra-natural.

Setiap orang tidak bisa lepas dari permasalahan kebebasan dan takdirnya. Setiap orang bebas untuk memilih kehendak yang diinginkannya, akan tetapi pada akhirnya pilihan itu memang sudah digariskan dalam takdirnya manusia itu sendiri. Dan setelah manusia memilih pilihan tersebut maka manusia tidak kembali lagi ke awal dan mengubahnya. Hal itu memang sudah menjadi takdirnya dan tidak ada yang bisa mengubahnya.

Untuk lebih jelasnya, ada sebuah ilustrasi yang menggambarkan kebebasan menurut kelompok kami:

Kehidupan manusia itu ibaratnya berada di sebuah kapal. Manusia bebas bergerak dan bepergian ke mana saja di dalam kapal. Tetapi manusia tidak boleh keluar dari daerah kapal tersebut. Dan kapal tersebut pada akhirnya akan menuju kepada suatu tujuan akhir sesuai yang direncanakan.

Hal ini sesuai dengan prinsip kebebasan dan takdir yang kami telah jelaskan di atas.

Kebebasan dan determinisme itu juga bukan merupakan suatu hal yang tidak berhubungan. Kedua hal itu saling melengkapi. Tanpa determinisme maka kebebasan akan sulit diwujudkan, juga sebaliknya. Maka sangatlah salah jika ada suatu pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara determinisme dan kebebasan.


DAFTAR PUSTAKA

Dister, Nico Syukur. 1988. Filsafat Kebebasan. Yogyakarta: Kanisius.

Leahy, Louis. 2001. Siapakah Manusia? Yogyakarta: Kanisius.

http://en.wikipedia.org/wiki/Free_will.

http://en.wikipedia.org/wiki/Determinism.

http://en.wikipedia.org/wiki/Destiny.

No comments: