Sunday, April 22, 2007

Menggugat Nalar Instrumental; Mengembalikan Nurani Substansial

oleh

AG. Eka Wenats Wuryanta

Pendahuluan

Kita berada pada suatu tempat yang dipenuhi dengan pusaran informasi yang bertubi-tubi. Perkembangan teknologi komunikasi dan pemampatan ruang-waktu konvensional membentuk masyarakat yang semakin cair tapi intens dengan relasi sosial. Kita berada dalam dunia yang dipenuhi dengan narasi kebercepatan, kebermudahan dan kepraktisan. Relasi yang dibentuk pada setiap individu pun dipengaruhi oleh narasi kepentingan. Tidak ada teman yang kekal. Tidak ada musuh yang abadi. Yang tertinggal adalah kepentingan abadi.

Kita berada dalam locus sosial yang lebih mempertimbangkan kesenyawaan kepentingan. Kita berada dalam locus budaya yang lebih memperhitungkan masalah kalah menang. Kita tidak hidup dalam dunia yang juxtapose.

Locus sosial dan budaya masuk dalam ranah epistemologi serta logika manfaat. Locus sosial dan budaya masuk dalam daerah kebekuan rasa. Kita berada dalam wilayah pragmatisme.

Maka tidak mengherankan apabila budaya tidak lahir dalam kehidupan. Justru pragmatisme membawa kebudayaan dalam kuburan hati dan personalitas. Pragmatisme diikat dalam logika instrumental. Kau berguna, maka kau ku pake!!!! Ada uang ada sayang!!! Semakin nikmat, semakin dijabat!!!! Semakin syahwat, semakin adekuat!!!

Riwayat Sang Budaya

Kebudayaan berangkat dari kelangkaan. Kelangkaan yang harus diisi dengan dunia kedua. Kita perlu peneduh, karena awan adalah payung alami kita. Kita butuh ac, karena angin adalah sepupu nafas kita. Kita butuh roda, karena kaki perlu perpanjangan. Kita butuh sendok, karena kita bukan makan seperti anjing. Kita butuh apa yang disebut dengan The Second World.

Kebutuhan itu benar tumbuh dari isi nurani. Maka Sang pelaku budaya mengembangkan isi dan substansi. Pelaku budaya bernegosiasi dengan alam. Berwawancara dengan sesama. Berkompromi dengan diri. Kebudayaan lahir dari mitologi dan demitologisasi. Kebudayaan lahir dari wacana seprimitif apapun. Kebudayaan lahir dari kemesuman. Kebudayaan juga lahir dari kealiman. Tapi yang lebih dari itu semua, kebudayaan selalu timbul dan berkembang dari akumulasi kegelisahan.

Renaissace justru timbul dari kegelisahan kemandegan status quo nalar. Ketika nalar dikalahkan dengan dinginnya sistem teologi. Ketika Tuhan diperlakukan sebagai gembala akal. Ketika sakralitas mundial merupakan berhala pemikiran. Pada saat itu, nalar tidak mau lagi gelisah dengan hal yang profan sekalipun. Nalar dan rasa akhirnya diperbudak dengan ideologi beku doktriner. Aufklarung lahir dari kegelisahan ketika nalar menjadi terikat dengan ruang dan waktu instrumental yang begitu melekat. Kelekangan nalar dan absolutisme nilai adalah berhala baru dalam konteks sosialitas manusiawi.

No comments: