Thursday, January 25, 2007

Hidup yang Erotik (* Merevitalisasi Kehidupan Modern dengan Semangat Purba)

Oleh: Jansen Sinamo

EROS, erotik, erotisme. Tiga kata ini akarnya sama. Suasananya juga sama: gelora semangat purba yang atraktif dan menggoda. Menjijikkan bagi kaum saleh tapi menggairahkan bagi orang kebanyakan, kotor bagi para pemeluk teguh tapi merangsang bagi warga abangan, najis bagi umat alim tetapi tonikum vital bagi mereka yang letih lesu dan berbeban berat.

Kata Gafni, eros adalah energi vital yang suci. Eros dan spiritualitas ternyata berkaitan erat secara mendalam. Tegasnya, yang erotik dan yang kudus sebenarnya serupa dan sama. Maka, hidup yang erotik adalah hidup yang sakral. Bahkan, tanpa eros kesucian kita cuma ecek-ecek, tidak jenuin dari jiwa yang terdalam. Tanpa eros, kesalehan kita pura-pura saja, tidak meresap sampai ke batin. Tanpa eros, tatanan etika kita di semua tingkat: personal-interpersonal, profesional-organisasional, dan sosio-politikal cuma topeng-topeng saja, membebani dan mematikan gairah. Dan kita tahu, tatanan semacam ini akhirnya akan runtuh dari dalam meskipun dari luar terlihat masih utuh.

Hidup tanpa eros sepi dan kosong, yang ditandai dengan rasa resah melelahkan dan rasa bosan menekan. Tekanan ini berasal dari sebuah ruang hampa di hati manusia. Itulah hati yang sunyi-senyap dari gempita eros, yang hampa-kosong dari desah nafas eros. Lalu, untuk menghindari tekanan itu, orang lari ke berbagai kesibukan. Tapi sebenarnya kesibukan itu cuma sebuah laku penghindaran, avoidance–a-void-dance, sebuah tarian di sekitar kehampaan. Meski terlihat sibuk, sesungguhnya aktivitas non-erotik itu adalah sebuah tarian hampa, banal tanpa estetika. Dan untuk memenuhi kehampaan itu orang mencari berbagai jenis gratifikasi seperti pesta narkoba, seks suka-suka, atau kekerasan massal bergemuruh. Namun, lagi-lagi, sebenarnya tak ada pesta, tak ada sukacita. Sebab ternyata, usai acara, semua pemesta kembali ke dunia nestapa.

Gafni memberi metafora. Seekor lebah terperangkap dalam botol. Dari luar, ia tampak menari-nari penuh gairah, dari sisi ke sisi. Ia terbang meliuk-liuk, dari dasar ke puncak. Namun, dari dalam sungguh malang. Sebenarnya tak ada tarian gembira. Tak ada liukan bergairah. Yang ada cuma usaha tanpa harapan. Pelan tapi pasti, sang lebah mati perlahan. Tercekik lunglai kehabisan oksigen. Kata Gafni, begitulah gaya hidup tanpa eros yang dilakoni individu, keluarga, dan organisasi: palsu, menipu, lalu mati pelan-pelan.

Tapi, bagai nabi, Gafni berjanji. Ada gaya hidup baru untuk kita semua: hidup penuh sukacita kaya makna, hidup penuh cinta kaya warna, hidup penuh tari kaya dinamika. Di situ kita dimungkinkan menikmati setiap momen penuh isi. Tak lagi terisolasi, tapi terkoneksi. Tak lagi sepi sendiri, tapi larut berpartisipasi. Sesungguhnya kehidupan ini menawarkan kesembuhan bagi luka-duka-nestapa kita. Maka, jangan pedih lagi sebab tersedia senar bagi getar-getar ekstasi surgawi. Jangan perih lagi sebab terbuka akses bagi arus sukacita ilahi. Jangan sedih lagi sebab ada tarian baru: tarian eros yang penuh gairah dan cinta!

Siapakah Marc Gafni yang piawai berkata-kata indah mencekam ini? Dua buku, Soul Prints dan The Mystery of Love, bagai sepasang roket membubungkan nama Marc Gafni ke angkasa selebriti dalam atmosfer spiritualitas internasional, mirip kibar-kibar nama Aa Gym di Indonesia. Gafni kini tampil sebagai suara baru dalam bentara kerohanian di Israel, Eropa, dan Amerika. Ia memberikan banyak seminar tingkat pascasarjana tentang mistisisme dan spiritualitas di berbagai universitas dunia dan secara rutin di Oxford, Inggris. Gafni tak hanya diakui sebagai guru besar di bidang teks-teks kuno Yudaisme, tetapi juga empu dalam pemahaman dan penjelasan serat-serat hati manusia modern.

Marc Gafni dianggap sealiran dengan guru-guru spiritual dunia seperti Jalaludin Rumi, Scott Peck, dan Thomas More. Ciri utama mereka bukan fundamentalis bukan pula New Ager, tapi lebih bersifat ekumenis. Artinya, mereka berakar kuat dalam tradisi agama masing-masing, tapi cerdas menyapa jiwa umat dari berbagai agama lain. Mereka adalah peziarah lintas batas sehingga mampu berbahasa universal: bahasa hati dan cinta. Tak harus jadi Muslim untuk dicerahkan oleh Rumi. Tak harus jadi Protestan atau Katolik untuk dicerahkan oleh Peck atau More. Dan, tak harus jadi Yahudi untuk dicerahkan oleh Gafni. Membaca buku-buku mereka, kita merasa terterangi oleh filsuf cerdas yang bijak bestari.

Lahir dan besar di Massachusetts, Amerika Serikat, Rabbi Gafni memiliki gelar tertinggi di bidang filsafat. Gafni juga seorang pembicara inspirasional sehingga ruang-ruang kuliahnya selalu penuh. Bahasanya menggugah nurani. Intelektualitasnya kelas tinggi, tapi berbudi sangat pekerti. Ia sangat menguasai konsep-konsep biblikal yang diuraikannya dengan indah dan segar sehingga mampu menggerakkan hati sidang pendengarnya dari berbagai usia dan latar belakang. Orang disadarkan bahwa pesan-pesan teks-teks purba tersebut ternyata sangat relevan bagi kehidupan modern.

Pindah ke Israel, Gafni mendirikan Bayit Chadash, sebuah padepokan spiritual yang mendedikasikan diri pada renaisans Yudaisme. Gafni juga mengisi berbagai program dan kolom di televisi dan jurnal yang mengupas tuntas etika dan spiritualitas modern yang menyebarluas ke dalam budaya populer. Gafni juga adalah dekan dari Melitz Beit Midrash, sebuah think-tank yang berwatak pluralistik dan salah satu lembaga pemikiran tertua dan paling prestisius di Israel. Selain menulis empat buku teologi dalam bahasa Ibrani, dia juga mengarang dua buku best-seller berbahasa Inggris seperti disebut di atas. The Mistery of Love, buku sumber bagi tulisan ini, adalah sebuah buku serius tentang filsafat dan teologi, bukan novel tentang kisah cinta kawula muda.

Wajah-wajah eros

Dalam bahasa Ibrani, Eros adalah Shechinah, secara spiritual dipahami dan dialami sebagai Sang Feminin Agung: mother, daughter, and lover. Dialah sang penyayang dan pengasih yang membuat semua ciptaan merasa tenteram, puas, dan lelas. Shechinah berarti kehadiran di dalam, ’dia yang tinggal di dalam diri kita’. Dia merupakan energi ilahi yang tak hanya mengalir melalui kita, tetapi juga mengandung semua kita. Ia memelihara semua makhluk bahkan semua kehidupan dengan penuh kasih sayang, sensualitas, dan erotisme.

Bedanya, dalam konsepsi Yunani, eros berkarakter maskulin. Dikenal sebagai dewa kehidupan, cinta dan seks, Plato menyebutnya love plus. Eros merupakan daya kehidupan yang esensial– menggerakkan benda-benda langit bahkan semua kehidupan–tapi juga berbahaya karena bisa destruktif dan, kalau tak sanggup menjinakkannya, sebaiknya dihindari. Secara spesifik eros berkonotasi seksualitas, fertilitas, dan reproduksi.

Dalam spiritualitas Ibrani, yang erotik tidaklah semata-mata sinonim dari yang seksual, tetapi seluruh ekspresi kegairahan yang berkarakter ilahi dari dalam hati manusia yang dimodelkan oleh seksualitas. Secara umum eros adalah tarikan magnetik yang mengikat seluruh ciptaan dengan saling menghasrati menuju kesatuan yang utuh; pada elektron dan proton sehingga atom tercipta, pada sepasang kekasih sehingga anak terlahir, atau pada hati para mistikus sehingga ekstasi terjadi.

Namun, berabad-abad kemudian, kata erotik cuma berasosiasi dengan seksualitas saja. Yang seksual adalah sebagian dari eros, bagian yang sempit sekali. Penyempitan makna ini, dalam terminologi mistik Ibrani, disebut sebagai eros yang terbuang atau Shechinah dalam pembuangan. Istilah terbuang dan pembuangan diambil dari pengalaman sejarah bangsa Israel kuno yang pernah ditaklukkan dan ditawan Nebukadnezar, raja Babilonia. Bangsa yang terbuang merasakan hidup yang sepi, kosong, dan sesak, sehingga tak dapat berekspresi secara memadai.

Ke mana Shechinah atau eros terbuang? Jawabnya, ke wilayah seksual. Maka, jika seks adalah satu-satunya kegiatan di mana kita bisa erotik, artinya Shechinah berada di pembuangan. Dan jika gairah tinggi hanya bisa kita rasakan sesaat sebelum semburan orgasme, maka hidup kita sebenarnya amat miskin. Eros telah jatuh sebagai sinonim dari seks belaka. Artinya, kita sangat jauh dari gaya hidup erotik sejati.

Sekarang apa jati diri eros yang sejati itu, siapakah dia sesungguhnya? Menurut Gafni ada empat wajah eros.

Pertama, eros berarti berada di dalam. Terlibat secara erotik berarti masuk jauh ke dalam, terlibat total secara mendalam. Pada Bait Suci yang dibangun Salomo, di bagian paling dalam terdapat ruang Ruang Mahakudus. Dalam bahasa Ibrani ruang itu disebut lefnai lefnei ’yang di dalam dari yang di dalam’. Jadi, apa pun yang sungguh-sungguh mendalam atau paling dalam pada hakikatnya adalah suci. Di sini, lawan kata suci bukan cuma najis, tetapi juga dangkal, superfisial, atau permukaan. Dalam kuil kuno itu, adalah seksualitas–yang disimbolkan oleh sepasang kerubim di atas tabut perjanjian dalam postur saling berpelukan–yang menjadi model tentang bagaimana hidup secara erotik. Maka, semua aktivitas di mana kita mampu tenggelam total di dalamnya, dalam artian ini, merupakan aktivitas yang erotik dan kudus.

Eros mulai tereksitasi apabila kita menukik jauh sampai ke dalam, ke inti atau interior dari apa yang kita kerjakan sehingga energi nuklirnya terlepas dan meluluhkan kita bersama dengan aktivitas kita. Pada saat itu saya menyatu total dengan apa yang saya kerjakan. Saya bukan lagi penulis yang bersusah payah menulis tetapi telah lenyap menyatu dengan kegiatan menulis. Maka, saya adalah tulisan saya, dan tulisan saya adalah saya. Meminjam Gary Zukav, penulis The Dancing Wu Li Masters, An Overview of the New Physics, saya menari dengan eros!

Menari dengan eros berarti hidup dan mencintai secara erotik pada semua wilayah kehidupan kita. Itulah artinya hidup suci. Sebagaimana suci tak seharusnya dibatasi oleh keempat dinding rumah ibadah, maka eros juga seharusnya tidak boleh dibatasi oleh kelambu bilik tidur. Eros mestinya tampil utuh sebagaimana adanya, sebagaimana seharusnya. Itu berarti menikmati keunikan yang istimewa dari seorang teman, mencium seluruh aroma rumput dan bunga-bungaan, merasakan semua sensasi semilir angin, menikmati dahsyatnya rasa rindu yang mencekam, dan merasakan seluruh getaran jiwa bersama segenap wajah kehidupan. Itu berarti menikmati gulung-gemulungnya ombak cinta yang susul-menyusul bersama gelombang ekstasi yang meluluhkan tembok-tembok kemarahan, kesepian, dan ketakutan kita. Sungguh, eros adalah sumber kenikmatan tertinggi. Kenikmatan yang suci.

Kedua, eros berarti hadir sepenuhnya. Hadir berarti tampil penuh konsentrasi dalam sebuah percakapan atau kegiatan sehingga kita mampu memetik sukacita dan martabat darinya. Kita merasa penuh, tak lagi kosong. Dengan hadir, kita mampu melihat keunikan, kompleksitas, dan kekayaan satu sama lain, serta keagungan ultimatnya.

Hadir juga berarti menunggu pemunculan. Shechinah sudah menunggu kita. Eros berada di rumah, menanti kita agar segera masuk, menemuinya, dan menatap wajahnya dengan rasa takjub sepuas hati. Pada saat itulah kita merasa sampai di posisi dan kondisi yang kita harapkan. Jadi, eros adalah state of feeling di mana kita tak ingin lagi ke mana-mana karena sadar bahwa kita sudah di sana. Lawan dari eros ialah keterasingan, sebuah perasaan bahwa kita orang luar, tamu tak dinanti, orang yang tak diharapkan. Dalam kondisi erotik, kita menikmati kesalingterhubungan yang utuh-teguh yang mengakar tuntas dalam jaring-jaring kehidupan. Eros menyediakan ruang makna. Itulah kerja yang memuaskan, relasi yang menyukakan, kehidupan sosial yang menggairahkan, aktivitas yang membahagiakan. Kelaparan, keserakahan, korupsi, peperangan, serta berbagai bentuk kekerasan pada Bumi dan sesama, semuanya adalah buah dari tiadanya eros.

Eros adalah kemampuan mengakses keabadian yang terkandung pada sebuah momen. Itu berarti menikmati ketidakterbatasan total dari setiap momen yang mengalir. Maka, yang erotik dan yang kudus hadir penuh di saat kini, dalam waktu yang serasa berhenti, saat semua momen-masa-lalu dan momen-masa-depan menyatu lebur dalam sebuah kekekalan subyektif.

Ketiga, eros adalah hasrat atau keinginan. Dalam Yudaisme, hasrat, keinginan, dan kerinduan adalah ihwal yang suci. Eros adalah hasrat menjadi, memperoleh, dan menikmati. Karena merindulah, maka kita ada dan terus mengada. Karena mendambalah, maka kita menjadi dan terus menjadi. Selama di luar kita terpaksa mengabaikan dan memadamkan hasrat hati kita. Namun, saat di dalam, saat kita hadir sepenuhnya, maka kita dapat meraih semua yang kita dambakan dan impikan. Jadi, dalam kerinduanlah terdapat keajaiban eros. Itulah senar-senar hati yang terus bergetar sensasional karena dirangsang oleh apa yang kita hasrati sepenuh rindu. Diputus dari eros yang merindu berarti dibiarkan mati sendiri dalam kerontangnya gurun sepi yang tak kenal belas kasihan.

Depresi terburuk ialah depresi keinginan, yakni matinya hasrat. Dalam kondisi ini, kita tak menginginkan apa pun lagi, tak mau ke mana pun lagi, tak sudi bertemu siapa pun lagi, dan tak berselera makan apa pun lagi. Ketika hasrat yang autentik sudah tak ada lagi, maka itulah apatisme sejati. Orang demikian sedang menuju mati.

Keempat, eros ialah kesalingterhubungan dengan semua kehidupan. Rindu, keinginan dan hasrat selalu membisikkan bahwa kita saling terhubung. Kata religi (agama) berasal dari bahasa Latin, ligare, artinya hubungan. Tujuan religi dengan demikian ialah menghubungkan kembali semua kita. Niat agama ialah membawa kita ke ruang paling dalam di mana kita saling berhadap-hadapan, bertatapan muka, dan dengan begitu mengalami interkonektivitas batin dengan semua wajah realitas. Maka, memutus hubungan dengan eros adalah sebuah dosa. Dosa di sini adalah separasi dan isolasi, yaitu keterpisahan dari sumber kehidupan dan semua wajahnya. Dosa berarti keadaan yang tragis. Tak hanya bahwa kita kehilangan sumber sukacita terbesar, tetapi sekaligus memutuskan jejaring relasional kita dengan yang ilahi yang tanpanya seluruh tatanan kehidupan ini akan runtuh.

Gafni menyebut ajaran baru tentang eros ini sebagai tantra Ibrani. Dalam bahasa Sanskerta, salah satu makna kata tantra ialah memperluas. Jadi tantra Ibrani berarti memperluas dimensi eros, melampaui yang seksual, ke semua wilayah nonseksual kehidupan ini. Tegasnya, tantra Ibrani adalah sebuah cara menggunakan energi erotik untuk manunggal dalam cinta dengan yang arus ilahi yang setiap saat mengalir ke dalam dan melalui kita. Esensi ajaran ini ialah mentransformasikan seksualitas menjadi tuntunan penuh kasih sayang menuju kepenuhan, kesukaan dan kebahagiaan integral. Eros!

Eros dan imajinasi

Satu kualitas inti dari eros ialah imajinasi. Keistimewaan imajinasi terletak pada kemampuannya memberi bentuk pada kebenaran-kebenaran tinggi yang berasal dari realitas ilahi. Bahasa dan rasio tak memadai melakukannya. Namun, imajinasi mampu. Dan bagaikan nabi, imajinasi akan membawa pesan-pesan ilahi, berbicara, dan bernubuat kepada dan melalui kita. Dengan imajinasi yang erotik, kita dimampukan mengakses hikmat dan pimpinan Tuhan yang sangat kita perlukan dalam menavigasi kehidupan ke depan. Namun, mengapa kita begitu lemah mengimajinasikan Tuhan? Jawabnya, karena Shechinah berada di pembuangan. Erotisme berimajinasi sudah terbuang ke wilayah seksual. Orang umumnya mudah berfantasi seksual, tapi sangat sulit berimajinasi di wilayah nonseksual. Artinya, erotisme berfantasi telah impoten pada arena-arena lain kehidupan ini di luar yang seksual.

Kata fantasi berasal dari bahasa Yunani, phantasi, kata kerja yang berarti membuat tampak, menampilkan. Bagi orang Yunani kuno, berfantasi tak ada kaitannya dengan seks. Berfantasi artinya membuat dunia para ilahi tampak melalui imajinasi. Itulah alam spirit. Itulah dunia bentuk murni. Kita hampir tak pernah berfantasi ekonomi, berfantasi sosial, atau berfantasi politik. Namun, berfantasi seksual sering, sepanjang waktu malahan. Seperti eros, fantasi pun telah terbuang ke lembah seksual. Karenanya, kita pun kehilangan kemampuan membuat tampak, membayangkan, mengimajinasikan, dan mengembangkan visi-visi yang agung dan orisinal di bidang sosial, ekonomi, dan politik. Pemiskinan imajinasi yang erotik adalah terbuangnya Shechinah.

Krisis terbesar bukan ekonomi, politik, bahkan bukan moral. Namun, krisis imajinasi. Orang kepentok pada jalan buntu karena tak mampu mengimajinasikan ulang hidupnya secara berbeda dari apa yang sekarang dijalaninya. Status quo dipegang erat-erat karena takut pada bayang-bayang ketidakpastian. Padahal, prasyarat bagi pertumbuhan ialah kesediaan untuk melepaskan siapa aku sekarang demi meraih siapa aku esok dengan cara membuang hal-hal yang sudah akrab tapi sebenarnya tak lagi berguna. Namun, ini hanya mungkin dilakukan jika kita berani berjalan sampai ke tubir-tubir ketidakpastian.

Kadang ini berarti meninggalkan kampung halaman dan merantau ke negeri orang. Namun, perantauan sejati tak harus berarti perpisahan dramatik dengan rumah dan masa lalu kita. Ia lebih merupakan perantauan imajinasi. Imajinasi adalah perkakas untuk merancang masa depan yang secara radikal berbeda dengan masa lalu dan hari ini.

Hanya dalam fantasi dan reimajinasilah kita dapat mengubah realitas kita. Dari dunia internal inilah kita mengubah dunia eksternal kita. Inti hampir setiap krisis adalah sebuah kegagalan berimajinasi. Tanpa lompatan imajinasi, tak ada kemajuan sejati, dan spirit kehidupan pun bakal mati sesak di bawah naungan tempurungnya yang lusuh dan rapuh.

Eros and etos: lingkaran dan garis

Dalam sejarahnya, terutama di masa lampau, eros purba yang dipraktikkan bangsa-bangsa kafir tampil dalam bentuk ritus-ritus tanpa etika, di mana pada puncak ekstasi ibadah mereka, manusia, terutama anak-anak, dikorbankan di atas mezbah-mezbah para dewa yang diiringi dengan pesta orgial yang dahsyat. Yahwe melalui nabi-nabiNya selalu melarang orang Israel mengikuti ibadah-ibadah demikian. Namun, lebih banyak tak berhasil. Sejak Salomo sampai pada waktu pembuangan ke Babel, pada sebagian besar kurun sejarah itu, mereka terpengaruh dan terjatuh ke dalam ibadah-ibadah kafir yang dicirikan oleh erotisme purba itu. Barulah sejak kembali dari Babel diadakan reformasi keagamaan dan sosial di bawah pimpinan Esra dan Nehemia.

Pertanyaannya, mengapa bangsa yang dilengkapi dengan etika biblikal, yaitu hukum-hukum Taurat, bisa jatuh ke dalam eros yang nonetis? Jawabannya, ketika eros dan etika bertentangan secara superfisial, maka eros selalu menang. Gafni mengibaratkan moralitas eros sebagai lingkaran dan moralitas etika sebagai garis. Dalam lingkaran murni, yaitu eros rendah, terdapat energi purba yang dahsyatnya tak mungkin dilawan justru karena dalam pusaran ekstasi eros tersebut orang mengalami keutuhan yang menyeluruh secara dahsyat. Sebaliknya moralitas garis, yaitu moralitas hukum dan etika, yang sebenarnya bertentangan dengan nature kemanusiaan kita, akan selalu gagal memenuhi tuntutan kontrak-kontraknya.

Jadi, bagaimana sebenarnya hubungan antara eros dan etos? Jawabnya, seperti hubungan dua wajah koin yang sama. Pada analisis terakhir, tatanan etika dan hukum, tanpa eros, akan runtuh berkeping-keping. Kegagalan etika terjadi karena eros tidak menjiwainya. Tegasnya, etika yang tidak berakar teguh pada eros akan runtuh karena, bagaimanapun, bagaikan satelit yang secara abadi di bawah pengaruh gravitasi Bumi, jiwa manusia pun selalu merindu sangat berat pada eros, selamanya.

Namun, jika etika kita pelajari dan dalami secara serius sampai ke level hakikat, maka kita akan bertemu dengan eros yang menyala-nyala dan selanjutnya akan berfungsi menjadi energi dalam penghayatan dan ekspresi etika itu sendiri. Pada saat inilah etika menjadi etos. Etika tidak lagi hanya sekumpulan norma tertulis tetapi sudah menjadi praktik nyata. Etika tak lagi sekadar huruf-huruf yang tertulis di atas kertas, tetapi tertulis di hati kita. Pada saat itu pula etos menjadi ekspresi erotik dari diri ilahi kita. Agar etika bisa dahsyat dan berwibawa, ia harus merupakan pengejawantahan erotik dari diri ilahi kita, bukan berkontradiksi.

Etika akan mati tanpa eros dan eros tidak bisa hidup tanpa etika. Tujuan akhirnya adalah integrasi. Yang erotik dan yang etis, lingkaran dan garis, harus menyatu-padu sebagai ekspresi total kemanusiaan kita dalam lingkungan kehidupan ini. Eros harus diekspansikan ke wilayah etika bahkan ke seluruh wilayah kehidupan kita. Dengan demikian, kita dimungkinkan menciptakan suatu masyarakat yang dicirikan oleh keadilan yang erotik, kebenaran yang erotik, dan kebajikan yang erotik.

Jansen H Sinamo, Direktur Institut Darma Mahardika, Jakarta

Ingatan Sosial dan Etika Politik

Oleh Ruslani


"Remember me," says King Hamlet to his son. Tell my story. Carry my memory, my legacy, my legitimacy, into the next generation, to my people, to my children and grandchildren. INGATAN pada mulanya bukan merupakan sebuah tindakan, tetapi sejenis pengetahuan semisal persepsi, imajinasi, dan pemahaman. Ingatan memunculkan pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa lalu, atau kelaluan dari peristiwa-peristiwa masa lalu.

PEMIKIR Perancis Paul Ricoeur (1999), misalnya, mengungkapkan bahwa ingatan memiliki dua jenis hubungan dengan masa lalu. Pertama adalah relasi pengetahuan, sementara yang kedua adalah relasi tindakan. Kedua relasi ini muncul karena mengingat merupakan jalan untuk melakukan segala hal, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan pikiran kita. Dalam mengingat atau mengenang kita menggunakan ingatan kita, yang merupakan sejenis tindakan. Justru karena ingatan merupakan sebuah exercise, maka kita dapat berbicara tentang penggunaan ingatan, yang pada gilirannya memungkinkan kita berbicara tentang penyalahgunaan ingatan. Persoalan-persoalan etis akan muncul begitu kita mulai merefleksikan hubungan antara penggunaan dan penyalahgunaan ingatan ini.

Pendekatan terhadap ingatan sebagai cara melakukan segala hal dengan pikiran, atau sebagai sebuah exercise, memiliki perjalanan panjang dalam sejarah filsafat. Dalam Sophist, misalnya, Plato berbicara tentang "seni" mengimitasi (mimetike techne). Dalam konteks ini, Plato membuat pembedaan antara phantastike techne ’yang tidak bisa diandalkan’ dan eikastike techne yang berasal dari eikon Yunani ’citra’, yang mungkin benar. Oleh karenanya, terdapat dua kemungkinan untuk mengimitasi atau mengenang: phantastike techne, yang bisa keliru dan tidak dapat diandalkan, dan eikastike techne, yang kemungkinan dapat diandalkan.

Setelah Plato, kita memiliki sejarah panjang tentang ars memoria, seni ingatan, yang merupakan semacam pendidikan mengenai tindakan mengingat masa lalu. Dan di penghujung tradisi yang memperlakukan ingatan sebagai seni ini berdiri Nietzsche dengan risalah kedua dari Untimely Meditation yang diberi judul On the Advantage and Disadvantage of History of Life. Ini menarik karena judul itu sendiri berkaitan dengan "penggunaan", bukan penggunaan ingatan semata, tetapi penggunaan filsafat sejarah dalam pengertian Hegelian, yaitu memperlakukan praktik sejarah sebagai sains.

Ingatan dan sejarah

Dalam konteks ini, menarik memerhatikan tesis sejarawan Perancis Pierre Nora (1996) yang menganggap rememoration sebagai sebuah penulisan sejarah yang lebih menaruh perhatian pada akibat daripada sebab suatu atau serangkaian kejadian. Sebagai satu jenis historiografi, rememoration menafsirkan sejarah secara simbolik. Ia kurang berminat pada memori sebagai ingatan semata-mata, tetapi lebih pada struktur menyeluruh masa lampau di dalam masa kini. Pusat perhatiannya lebih pada konstruksi tentang suatu peristiwa daripada dengan peristiwanya itu sendiri; lebih pada jejak-jejak yang ditinggalkan suatu tindakan daripada dengan tindakannya itu sendiri; lebih pada bagaimana suatu kejadian digunakan dan disalahgunakan di masa kini daripada dengan "apa yang sesungguhnya terjadi" itu sendiri.

Contoh penulisan sejarah dengan sebagai rememoration semacam ini antara lain pernah dilakukan oleh para kontributor The Indonesian Killings 1965-1966: Studies from Java and Bali (1990), buku yang kemudian disunting oleh Robert Cribb. Buku ini, demikian ungkap Budiawan (2003), layak disebut sebagai satu bentuk rememoration sekurang-kurangnya karena tiga hal.

Pertama, dengan menampilkan catatan-catatan tentang pembantaian massal di Jawa dan Bali, apa pun perspektif yang diambil para penulis catatan itu, The Indonesian Killings hendak menunjukkan bahwa goresan-goresan yang ditinggalkan pembantaian itu tetap membekas pada memori kolektif (sebagian) masyarakat Indonesia, sekalipun tertindih oleh wacana resmi yang dominan. Pembantaian yang meninggalkan goresan pada ingatan itu pada gilirannya membentuk semacam struktur kepribadian kolektif yang curiga pada kelompok lain, bersikap menjauhkan diri dari politik, dan mudah mengambinghitamkan pihak lain. Hal-hal semacam ini turut menopang keberlangsungan rezim Orde Baru hingga lebih dari tiga dasawarsa.

Kedua, dengan menyajikan analisis tentang efek-efek pembantaian massal semacam itu, The Indonesian Killings mencoba memperlihatkan bahwa pembantaian massal yang menyusul Gerakan 30 September 1965 bukan sekadar pembasmian PKI secara fisik, tetapi sekaligus penyiapan mentalitas yang menerima kehadiran suatu orde baru yang benar-benar terpisah dari orde sebelumnya. Istilah "Kesaktian Pancasila" menjadi simbol dari keterputusan sejarah yang dramatis.

Ketiga, dengan menampilkan analisis tentang bagaimana wacana populer (film, novel, cerita-cerita pendek) Orde Baru merekonstruksikan "apa yang terjadi di seputar 30 September 1965" dan masa-masa sesudahnya, The Indonesian Killings hendak menunjukkan bagaimana Orde Baru mencitrakan dirinya sebagai "penyelamat negara dan bangsa" dan sekaligus sebagai pihak yang bisa mengampuni mereka yang dianggap keblinger atau mereka yang dituduh komunis. Wacana populer semacam ini turut membentuk basis ideologis Orde Baru, yang menempatkan negara sebagai sumber kebajikan termasuk bagi mereka yang dicap sebagai "pengkhianat" sekalipun.

Sayangnya, perhatian terhadap penulisan sejarah sebagai sebuah rememoration masih kurang mendapat perhatian, baik dari sarjana Indonesia maupun sarjana luar negeri yang konsen dengan persoalan-persoalan politik, sosial, ekonomi, dan budaya di Indonesia. Lebih-lebih, masih ada kelompok-kelompok kepentingan tertentu yang enggan mengakui kebenaran sejarah masa lalu baik karena gengsi kekuasaan maupun karena merasa kepentingannya terancam. Jika demikian halnya, sejarah sebagai rememoration akan mencatat bagaimana usaha menempatkan masa lalu pada tempatnya selalu menemukan hambatan. Masa lalu masih menjadi medan pertarungan antara mereka yang ingin menjadikannya sebagai sejarah, dalam arti masa lalu yang telah berlalu, dan mereka yang ingin memeliharanya sebagai hantu. Mereka yang memelihara masa lalu sebagai hantu jelas tidak akan pernah belajar apa pun dari masa lalu. Mereka telah menjadi "sandera dari masa lalu yang mereka bakukan sendiri" (Trouillot, 1995).

Padahal, seharusnya setiap orang bisa belajar dari masa lalu. Dalam kaitannya dengan kekerasan masa lalu, baik pelaku maupun korban bisa mendapatkan pelajaran berharga dari peristiwa kekerasan tersebut. Bagi pelaku, mengingat penderitaan korban di masa lalu merupakan tanggung jawab etis yang harus dia lakukan agar kejahatan serupa tidak terulang lagi. Lebih dari itu, ingatan akan penderitaan korban ini pun harus disampaikan kepada anak cucunya sedemikian rupa sehingga dapat meminimalkan kemungkinan munculnya korban-korban potensial dan pelaku- pelaku potensial atas kejahatan dan kekerasan yang sama.

Bagi korban, ingatan akan kekerasan di masa lalu dapat menjadi referensi untuk meminta pertanggungjawaban terhadap pelaku sebagai upaya rehabilitasi atas penderitaan yang selama ini ditanggungnya. Dengan demikian, hak-hak korban sebagai manusia dan warga negara diharapkan dapat dipulihkan dan proses hukum yang berlaku harus ditetapkan dilaksanakan agar para korban mendapatkan rasa keadilan dan perlindungan yang semestinya dia dapatkan sebagai warga negara merdeka.

Tiga pendekatan

Paul Ricoeur mengusulkan tiga macam pendekatan terhadap ingatan sosial agar kita bisa sampai pada persoalan etika ingatan. Ketiga pendekatan tersebut adalah pendekatan patologis-terapetik, pendekatan pragmatik, dan pendekatan etis-politis.

Pendekatan patologis-terapetik menuntut adanya perhatian yang serius karena di sinilah penyalahgunaan-penyalahgunaan ingatan yang sering terjadi diakarkan pada sesuatu yang kita sebut luka-luka dan goresan-goresan ingatan. Dalam hal ini kita memiliki contoh yang baik berkaitan dengan kondisi Indonesia saat ini: pada tempat tertentu kita dapat mengatakan bahwa kita terlalu banyak mengingat, sementara di tempat lain kita tidak cukup dapat mengingat peristiwa tertentu, biasanya karena disengaja. Demikian juga, kadang kita tidak cukup dapat melupakan sesuatu, tetapi di saat lain kita terlalu banyak melupakannya.

Ada dua esai pendek yang ditulis Sigmund Freud, Remembering, Repetition, and Working Through (Durcharbeiten), yang merupakan bagian dari kumpulan tulisan Metapsychology (1914) dan dapat digunakan mendukung pendekatan pertama ini. Titik tolak esai ini adalah sebuah insiden atau kecelakaan dalam kemajuan pengobatan psikoanalitik, ketika pasien terus-menerus mengulangi pelbagai simtom, untuk mendapatkan kemajuan menuju pengingatan-kembali, atau menuju rekonstruksi tentang masa lalu yang dapat diterima dan dapat dipahami. Oleh karenanya, pendekatan pertama ini terkait dengan persoalan resistensi dan represi dalam psikoanalisis.

Adalah menarik bahwa pada permulaan esai tersebut Freud mengatakan bahwa pasien mengulang alih-alih mengingat. Karenanya, repetisi merupakan kendala untuk mengingat. Pada tahap yang sama dalam esai tersebut, Freud mengatakan bahwa baik dokter maupun pasien harus memiliki kesabaran: mereka harus bersabar dalam kaitannya dengan simtom-simtom tersebut, yang pada gilirannya memungkinkan mereka untuk didamaikan dengan kemustahilan untuk langsung menuju pada kebenaran-jika memang ada kebenaran yang terkait dengan masa lalu itu. Lebih dari itu, pasien juga harus menerima penyakitnya agar dapat mengantisipasi saat ketika dirinya dapat didamaikan dengan masa lalunya sendiri. Jalan menuju rekonsiliasi dengan diri sendiri inilah yang justru merupakan sesuatu yang disebut oleh Freud sebagai "working through" (Durcharbeiten). Dalam esai ini pula Freud memperkenalkan istilah penting "memory as work" (Erinnerungarbite).

Esai kedua adalah Mourning and Melancholia. Dalam esai ini Freud berjuang membedakan dukacita (mourning) dari melankolia (melancholia). Melalui esai ini dia juga berbicara tentang "kerja" dukacita. Oleh karenanya, Paul Ricoeur berusaha menggabungkan kedua ekspresi ini-work of memory dan work of mourning-mengingat kerja ingatan merupakan sejenis dukacita, dan dukacita merupakan ujian yang menyakitkan dalam memori.

Dukacita merupakan sebuah rekonsiliasi dengan hilangnya sebagian obyek- obyek cinta; obyek-obyek cinta yang mungkin berupa pribadi, tetapi juga dapat berupa abstraksi-abstraksi semisal tanah air dan kebebasan-cita-cita dalam segala bentuknya. Yang dipertahankan dalam dukacita dan hilang dalam melankolia adalah harga diri. Inilah sebabnya dalam melankolia terdapat keputusasaan dan kerinduan untuk didamaikan dengan obyek tercinta yang telah hilang tanpa ada harapan akan rekonsiliasi.

Pada tahap ini, dukacita melindungi kita dari tren menuju melankolia ketika terdapat sesuatu yang dia sebut "interiorisasi obyek cinta", yang menjadi bagian dari jiwa. Namun, harga yang harus dibayar sangat mahal karena kita harus menyadari, langkah demi langkah, tingkat demi tingkat, pelbagai tatanan yang didiktekan oleh realitas. Ia adalah prinsip realitas melawan prinsip kesenangan. Dengan demikian, melankolia dapat menjadi pendakuan permanen atas prinsip kesenangan.

Dalam konteks politik, ketika kita masih terlalu banyak mengingat peristiwa tertentu dan kurang mengingat peristiwa yang lain menunjukkan bahwa kita masih berada pada sisi yang sama, kita masih berada pada sisi repetisi dan melankolia. Adalah luka-luka dan goresan- goresan sejarah yang diulang-ulang dalam kondisi melankolia. Oleh karenanya, dukacita dan "working through" harus dilaksanakan bersama dalam perjuangan mencapai akseptibilitas ingatan: ingatan tidak hanya harus dapat dipahami, tetapi juga harus dapat diterima. Dan akseptibilitas inilah yang dipertaruhkan dalam kerja ingatan dan dukacita. Keduanya merupakan tipe-tipe rekonsiliasi.

Dari sini kemudian kita dapat bergerak menuju pendekatan kedua di mana pelbagai penyalahgunaan ingatan lebih mencolok. Pendekatan ini disebut "pragmatik" karena di sinilah kita memiliki praksis ingatan. Ingatan sering tunduk pada penyalahgunaan karena ingatan memiliki banyak hubungan dengan persoalan identitas. Kenyataannya, pelbagai penyakit ingatan pada dasarnya merupakan penyakit-penyakit identitas. Ini disebabkan karena identitas, baik personal maupun kolektif, selalu sekadar dianggap, didakukan, didakukan-ulang; dan karena pertanyaan yang ada di balik problematika identitas adalah "siapakah saya (who am I)?" kita cenderung memberikan jawaban berkaitan dengan apakah kita (what we are). Kita berusaha memenuhi atau menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan yang dimulai dengan siapa dengan jawaban-jawaban apa. Jawaban apa terhadap pertanyaan siapa ini sangat tidak tepat, rapuh, dan rawan terhadap penyalahgunaan ingatan.

Setidaknya, ada dua alasan mengapa jawaban apa terhadap pertanyaan siapa ini tidak tepat dan rapuh. Pertama, kita harus menghadapi kesulitan mempertahankan identitas sepanjang masa. Inilah pendekatan yang, antara lain, dikembangkan oleh Paul Ricoeur dalam Time and Narrative (1988), tetapi dari sudut pandang narasi, bukan sudut pandang ingatan. Jadi, persoalan pertama muncul-bagaimana mempertahankan identitas sepanjang masa-adalah persoalan yang dimunculkan baik melalui narasi maupun memori. Mengapa? Karena kita selalu terombang-ambing di antara dua model identitas.

Analisis terhadap dua model identitas ini kemudian dilakukan oleh Ricoeur dalam Oneself as Another (1992) dengan mengintroduksi dua istilah Latin: idem identity dan ipse identity. Idem identity mengonotasikan kesamaan; kesamaan merupakan pendakuan untuk tidak berubah dengan mengabaikan perjalanan waktu dan dengan mengabaikan perubahan dari pelbagai peristiwa yang terjadi di sekitar kita dan dalam diri kita. Yang kita sebut "karakter" kita merupakan contoh yang mungkin dari tipe identitas ini atau level kesamaan ini. Namun, dalam kehidupan personal, kita membutuhkan sejenis fleksibilitas, atau semacam identitas ganda, model yang bagi kita dapat menjadi janji, yakni kemampuan menepati janji. Ini tidak sama dengan tetap tidak fleksibel atau tidak berubah sepanjang masa. Sebaliknya, ia merupakan cara menghadapi perubahan, bukan menyangkalnya. Inilah yang disebut ipse identity. Kesulitan untuk mampu menghadapi pelbagai perubahan sepanjang masa merupakan satu alasan mengapa identitas menjadi demikian rapuh.

Kedua, kita berhadapan dengan persoalan the other. Kelainan (otherness), pertama-tama dijumpai sebagai ancaman terhadap diri kita. Adalah benar bahwa kita pada umumnya merasa terancam dengan fakta bahwa ada orang lain yang hidup menurut standar-standar kehidupan dan nilai-nilai yang bertentangan dengan standar kehidupan kita. Kecenderungan untuk menolak, menyingkirkan, merupakan respons terhadap ancaman yang datang dari the other ini.

Lebih dari itu, ada komponen lain yang menjelaskan kesulitan mempertahankan identitas kita sepanjang masa, dan mempertahankan kedirian kita dalam berhadapan dengan the other, yaitu kekerasan yang merupakan komponen permanen dalam hubungan dan interaksi manusia. Bahkan, sebagian besar peristiwa yang berkaitan dengan pendirian sebuah komunitas adalah tindakan-tindakan dan peristiwa-peristiwa kekerasan. Jadi, dapat dikatakan bahwa identitas kolektif berakar dalam pelbagai peristiwa pendirian yang merupakan peristiwa-peristiwa kekerasan.

Dari sinilah kemudian terletak arti pentingnya pendekatan ketiga, yaitu kewajiban mengingat. Pendekatan ketiga ini sudah memasuki wilayah etika politik karena ia berhadapan dengan konstruksi masa depan: yaitu kewajiban mengingat bukan saja dengan memiliki perhatian mendalam terhadap masa lalu, tetapi mentransmisikan makna dari peristiwa-peristiwa masa lalu kepada generasi mendatang. Kewajiban mengingat erat kaitannya dengan masa depan: ia merupakan imperatif yang diarahkan pada masa depan, yang merupakan sisi sebaliknya dari karakter traumatik dari pelbagai penghinaan dan luka sejarah.

Mengapa kita memiliki kewajiban mengingat? Pertama, karena ia merupakan perjuangan melawan erosi jejak-jejak; kita harus menjaga jejak-jejak, jejak-jejak peristiwa, karena terdapat kecenderungan umum untuk menghancurkan jejak-jejak itu. Aristoteles mengatakan bahwa "time destroys more than it constructs." Alasan kedua lebih bersifat etis. Dalam The Human Condition (1958), Hannah Arendt bertanya bagaimana mungkin akan ada kontinuasi tindakan dengan mengabaikan kematian, dengan mengabaikan erosi jejak-jejak. Sebagai jawabannya, Arendt mengusulkan dua syarat bagi apa yang disebutnya sebagai kontinuasi tindakan: pengampunan dan janji. Mengampuni pada dasarnya merupakan pembebasan dari beban masa lalu, sementara janji meneguhkan kemampuan untuk terikat dengan ucapan kita sendiri. Arendt berhujah bahwa hanya umat manusia yang mampu dibebaskan melalui pengampunan dan diikat melalui janji.

Alasan ketiga adalah kewajiban mengingat berarti terus-menerus menghidupkan ingatan tentang penderitaan untuk melawan kecenderungan umum dalam sejarah untuk merayakan para pemenang. Kita dapat mengatakan bahwa seluruh filsafat sejarah, terutama dalam pengertian Hegelian, berkaitan dengan kumulasi keuntungan, kemajuan, dan kemenangan. Semua yang tertinggal di belakang menjadi hilang. Oleh karenanya, kita membutuhkan sejenis sejarah yang paralel tentang victimization, yang akan menjadi counter bagi sejarah keberhasilan dan kemenangan, mengingat korban-korban sejarah-mereka yang menderita, yang terhina, terlupakan- merupakan tugas dan tanggung jawab kita semua.

Etika politik

Dalam konteks inilah agaknya pembicaraan tentang etika politik menjadi relevan. Haryatmoko (2003) menjelaskan pentingnya pembahasan mengenai etika politik setidaknya karena tiga alasan. Pertama, betapa pun kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya tetap membutuhkan legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai, hukum atau peraturan perundangan. Di sinilah letak celah di mana etika politik dapat berbicara dengan otoritas. Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan menoleransi politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik. Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran tentang perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu pada etika politik. Pernyataan "perubahan harus konstitusional" menunjukkan bahwa etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja.

Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup yang baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil. Definisi etika politik ini membantu menganalisis korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Dalam perspektif ini, pengertian etika politik mengandung tiga tuntutan: (1) upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain; (2) upaya memperluas lingkup kebebasan; dan (3) membangun institusi-institusi yang adil.

Tiga tuntutan tersebut saling terkait. "Hidup bersama dan untuk orang lain" tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan yang mencegah warga negara atau kelompok-kelompok dari perbuatan yang saling merugikan. Kebebasan warga negara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil. Pengertian kebebasan yang terakhir ini dimaksudkan sebagai syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan konkret kebebasan atau democratic liberties: kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.

Dalam konteks ini pembicaraan mengenai ingatan sosial erat kaitannya dengan etika politik. Apalagi, pelbagai kasus kekerasan dan pembunuhan massal selalu terulang di Indonesia. Dari pengalaman ini orang mulai curiga jangan- jangan tiadanya proses hukum terhadap kekerasan dan pembunuhan yang terjadi merupakan upaya sistematik untuk mengubur ingatan sosial.

Ingatan bukan sekadar bekas goresan, tetapi mengenal kembali bekas-bekas goresan itu. Banyak dari bekas goresan ingatan manusia terhapus dan dilupakan. Ingatan bukan keseluruhan dari masa lalu, tetapi bagian dari masa lalu yang terus hidup dalam diri orang atau kelompok masyarakat yang tunduk pada representasi dan sudut pandang dewasa ini. Maka, mengingat melibatkan usaha untuk memberi makna, upaya memverifikasi hipotesis-hipotesis pengingat, membangun-kembali makna. Karenanya, menghidupkan kembali ingatan sosial berarti membangun bersama proyek perdamaian dan berusaha tidak mengulangi kekeliruan masa lampau yang tragis, yang masih menghantui dan melukai ingatan sosial. Bangsa yang tanpa ingatan sosial adalah bangsa tanpa masa depan.

Paul Ricoeur mengingatkan akan pentingnya ingatan itu dengan ungkapan sebagai berikut:

We must remember because remembering is a moral duty. We owe a debt to the victims. And the tiniest way of paying out debt is to tell and retell what happened… by remembering and telling, we not only prevent forgetfullness from killing the victims twice; we also prevent their life stories from becoming banal… and the events from appearing as necessary

Penulis adalah Mahasiswa S2 Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta