Wednesday, October 8, 2008

Arah dan Kecenderungan Filsafat Barat Masa Kini: Sebuah Sketsa

Oleh Prof. Dr. Ignatius Bambang Sugiharto*

Masa kini” adalah titik temu masa lalu dan masa depan. Maka, tulisan ini seyogianya meneropong arus-arus filsafat mana dari masa lalu yang agaknya kini berpeluang menentukan kecenderungan-kecenderungan filsafat di masa depan. Meskipun demikian, tulisan ini sebetulnya tidak seambisius itu. Sebab, yang saya buat hanyalah sebuah sketsa kasar.

Sktesa Situasi
Bila kita ikuti perbincangan di berbagai jurnal maupun literatur filsafat, maka sebetulnya hampir semua filsuf yang pernah dikenal dalam tradisi filsafat Barat ternyata masih selalu dibicarakan. Barangkali ini keunikan bidang filsafat: nyaris tak mungkin menganggap seorang filsuf dari masa mana pun sebagai sungguh-sungguh “kadaluwarsa”.

Meskipun demikian, ada beberapa tema, tokoh, dan jalur tradisi yang toh terasa mendominasi arena wacana filsafat hari-hari ini. Oleh karena itu, tulisan ini hanya akan menyoroti tema-tema tersebut. Dan, berharap melalui itu terlihat pula filsuf dan tradisi mana yang kini dominan. Di antara demikian banyak tema, beberapa di antaranya yang menonjol, yakni: 1) Bahasa, 2) Kritik atas modernitas/isme, 3) Tentang “yang lain” (otherness), 4) Komunikasi/dialog.

1 Bahasa
Sejak beberapa dekade yang lalu beredar istilah “Linguistic Turn”. Meskipun istilah ini kini memang telah memudar, tapi esensinya masih berbunyi: bahasa adalah tema sentral filsafat abad 20. Kini banyak tema pokok tradisional filsafat memang berlabuh dalam persoalan bahasa. Tentu saja sejak zaman Yunani, bahasa sudah selalu berperan penting dalam filsafat. Namun, selama itu, bahasa itu sendiri tidak pernah sungguh-sungguh dipersoalkan sebagai tema utama. Baru pada awal abad 20, sejak G. E. Moore dan Bertrand Russell yang memuncak pada Wittgenstein, bahasa menjadi tema kajian utama, bahkan hingga kini (abad 21). Tradisi analitik ini mencoba menunjukkan bahwa banyak persoalan dasar filsafat tradisional hanyalah semu: hanya perkara logika dan bahasa belaka. Sejak itu, mulai ada kecenderungan kuat untuk memperkarakan hakekat “filsafat” itu sendiri dari sudut bahasa. Dengan kata lain, terjadi kesibukan menuju ke arah filsafat tentang filsafat: “Metafilsafat”.

Perspektif yang terakhir itu memunculkan issue baru seperti: apakah bahasa pengetahuan itu memang harus satu dan universal, katakanlah bahasa “ideal” seperti yang umum dicita-citakan filsafat modern, ataukah dibiarkan saja dalam berbagai “Language games” sesuai dengan bentuk-bentuk kehidupan yang memang beragam, sebutlah bahasa “natural”. Kebenaran dan penalaran dilihat erat berkaitan dengan bahasa. Persoalan ini kini masih juga digumuli oleh generasi mutakhir tradisi analitik macam H. PUTNAM, D. DAVIDSON dan M. DUMMET. Situasi ini pada gilirannya telah ikut memicu lahirnya issue kontemporer tentang “Berakhirnya Filsafat” (The End of Philosophy), khususnya pada pemikiran R. RORTY, yang mengolah persoalan filsafat analitik dari perspektif J. DEWEY.

Namun kendati tradisi WITTGENSTEIN telah memperkarakan hakekat bahasa, pada umumnya tradisi analitik tidak banyak mengolah aspek ontologis bahasa, tetapi aspek logis dan epistemologisnya saja. Aspek ontologis bahasa diolah terutama oleh HEIDEGGER dari perspektif tradisi Fenomenologi Husserlian: bagi manusia yang tinggal di dalam dunia, bahasa itu akhirnya apa. Bahasa baginya adalah cara makna “ada” yang tampil sekaligus bersembunyi. Karena itu, bagi HEIDEGGER berfilsafat berarti “mendengarkan” bahasa, terutama bahasa puisi alias bahasa metaforis. Tradisi ini selanjutnya menjadi semakin vocal pada H. G. GADAMER, yang mengolah kebahasaan manusia dalam konteks hermeneutika filsafat dimana bahasa menjadi semacam pusat gravitasi bagi filsafat, bahkan bagi segala bentuk pemahaman tentang “Ada”. Katakanlah bahasa di sini adalah “Ada yang bisa dimengerti”, bahkan bisa juga dikatakan bahwa bahasa adalah “pikiran” itu sendiri. Dengan kata lain, tak ada cara lain untuk memikirkan kenyataan selain lewat bahasa. Tradisi fenomenologi dan hermeneutika ini diperdalam juga oleh filsuf lain: P. RICOEUR dengan mendialogkannya pada Psikoanalisa dan Strukturalisme. Pada pemikiran Ricoeur aspek kreativitas bahasa dalam proses pemahaman menjadi lebih jelas lagi. Yang menarik bagi Ricoeur adalah bahwa ia berhasil mengangkat issue penting dalam persoalan bahasa, yang sempat dipicu Heidegger juga, yaitu posisi metafora. Penelitiannya yang mendalam tentang metafora ternyata kemudian mengakibatkan perhatian panggung filsafat kontemporer bergeser dari persoalan logika ke persoalan metafora.

Agak di luar jalur itu, tradisi teori kritis Frankfurt pun ternyata akhirnya ikut juga mengolah persoalan bahasa dan hermeneutika. Tokoh terakhir tradisi ini adalah J. HABERMAS, misalnya menggunakan pola logika hermeneutic di balik “model interaksinya” yang memupuk kepentingan berkomunikasi dan saling mengerti. Dan, bahasa dilihat sebagai tempat bersembunyinya kepentingan-kepentingan penguasaan dan distorsi-distorsi dalam komunikasi.

Di samping semua jalur di atas, tradisi Strukturalisme masih perlu dilihat, kendati kini tampil justru dalam sosok baru: Post-strukturalisme J. DERRIDA, yang merupakan kombinasi antara strukturalisme dengan inspirasi Heidegger. Strukturalisme sendiri sudah selalu menganggap bahasa sebagai model sistem dan struktur tanda yang sangat menentukan segala pola pemikiran manusia tentang makna. Namun, bila strukturalisme cenderung melihat bangunan-bangunan struktur itu sebagai statis, maka Post-strukturalisme melihatnya justru sebagai sangat dinamis. Unit dasar yang memungkinkan segala struktur makna adalah pasangan-pasangan oposisi biner bahas belaka. Namun, karena setiap kata mengandaikan dan menunjukkan kata lainnya (trace) menjadi mata rantai tanpa ujung, maka sebetulnya makna adalah produk bahasa itu sendiri, bukan ciptaan penulisnya/pembicaranya. Demikian pada Derrida, bahasa menjadi sesuatu yang otonom. Maka, terjadilah “Kematian sang Pengarang”, kata filsuf Post-strukturalisme lainnya, ROLAND BARTHES. Segala bentuk tulisan maupun tafsiran akhirnya hanyalah kegiatan “bermain” geser-menggeser dan mengombinasikan makna belaka. Dengan kata lain, pada Derrida seluruh kegiatan berbahasa akhirnya secara radikal bersifat metaforis.

2. Kritik atas Modernitas/isme
Kritik atas pola pikir modern sebetulnya sudah dilakukan sejak awal kemunculan filsafat modern dan selanjutnya. B. Pascal, Hegel, F. Schiller, dan Nietzsche misalnya, telah melakukan hal itu. Namun, kritik tersebut saat itu nyatanya hanya merupakan riak-riak kecil sesaat saja. Kritik atas kemodernan mulai menjadi riak agak besar kiranya baru sejak Heidegger yang – berdasarkan inspirasi Fenomenologi Husserlian – mengkritik tradisi filsafat Barat yang telah berjalan hingga Nietzsche dan Hegel. Kritiknya terasa serius oleh sebab ia berhasil menggugat pola berpikir dualistik Subjek-Objek yang bersifat penguasaan, kalkulatif, dan manipulatif, di balik Metafisika yang telah memuncak pada IPTEK. Di sisi lain, Eksistensialisme pun memanfaatkan Fenomenologi Husserl dan dengan berbagai cara mulai mencoba keluar dari pola berpikir filsafati modern juga. Lalu yang dilakukan para fenomenolog macam Merleau-Ponty dan Levinas pun sebetulnya adalah upaya yang sama.

Namun, kritik atas kemodernan tiba-tiba menjadi gelombang besar sejak tampilnya J. F. LYOTARD, terutama karena ia melontarkan istilah yang sangat eksplisit: “Postmodernisme” yang kontroversial itu. Secara eksplisit sebetulnya gelombang kritik atas kemodernan telah muncul dalam segala istilah “post”, misalnya post-metafisik, post-Hegelian, post-Analitik, post-Strukturalisme, post-industrial, post-western, dan sebut saja segala “post” lainnya. Dengan begitu, seolah istilah “postmodern” seperti merangkum semua gejala tersebut, dan itu pula sebabnya istilah “postmodern” cenderung dikait-kaitkan dengan semua “post” lainnya itu hingga isinya memang kabur. Gelombang ini semakin hiruk-pikuk dengan munculnya J. BAUDRILLARD, F. JAMESON, R. RORTY yang memperkarakan kemodernan secara eksplisit juga.

Dengan caranya sendiri, jalur tradisi genealogi Nietzsche pun ternyata bersuara kembali lewat inspirasi strukturalisme. Dan itu menghasilkan kritik yang sangat mendasar, meskipun ganjil, terhadap kemodernan. Ini nampak pada pemikiran MICHEL FOUCAULT, J. DERRIDA, G. DELEUZE, dan ROLAND BARTHES.

Dari tradisi teori kritis, yang sebetulnya dilakukan J. HABERMAS sebenarnya tiada lain adalah upaya merevisi kemodernan juga. Maka, sebetulnya perdebatannya tentang istilah “postmodern” di sini terasa semu.

Dari bidang filsafat moral, muncul pula kritik tajam terhadap tradisi modern umumnya, yaitu: A. MacINTYRE, lalu Z. BAUMAN. Sedangkan dari filsafat ilmu, kritik mendasar lahir dari THOMAS KUHN, I. LAKATOS, dan FEYERABEND.

Yang menarik adalah bahwa dari tradisi filsafat proses pun lahir jalur yang eksplisit menggunakan istilah “postmodern” yaitu kelompok Studi Proses: D. R. GRIFFIN, F. FERRE, dsb., yang sering bergabung dengan para fisikawan macam D. BOHM, I. PRYGOGINE, dsb. kelompok ini mengolah inspirasi WHITEHEAD dan perkembangan ilmiah terbaru. Dengan itu mereka lalu mengadakan revisi mendasar atas paradigma-paradigma dan menawarkan “worldview” baru. Agaknya kelompok ini adalah satu-satunya kubu yang berani merancang “metafisika” baru di tengah-tengah suasana skeptik dan pesimis dunia filsafat umumnya.

Demikian kritik atas kemodernan memang bukan sekedar kekhasan pemikiran Lyotard, Foucault, atau Derrida, melainkan merupakan kecenderungan umum para filsuf kontemporer. Tidaklah mengherankan karenanya bila “Postmodernisme” pun menjadi semacam umbrella term yang mudah dikenakan pada siapapun di antara mereka.

3. Yang Lain (Otherness)
Suatu hal yang mencolok di panggung filsafat hari ini adalah juga kecenderungan umum untuk memberi tekanan dan penghargaan pada “Yang Lain” atau “Lyan”. Itu bisa berarti “Ada” Heideggerian yang senantiasa mengelak dari kategori Metafisika dan IPTEK; bisa juga “Orang Lain” a la Levinas yang tak pernah diberi tempat layak dalam tradisi pemikiran modern yang subjektivistis (Egologis); atau bisa juga berarti peran sentral “irasionalitas”, “ketaksadaran”, unsur-unsur “pra-konseptual” dan “nonkonseptual” seperti dilacak para filsuf Frankfurt dan Strukturalisme; atau “kegilaan” dan “diskontinuitas sejarah” Foucaultian yang senantiasa dianak-tirikan dalam pola pikir modern; atau “instabilitas makna, struktur, dan sistem” Derridean yang jarang terpikir oleh para filsuf modern; atau peran sentral “hasrat (desire), kehendak untuk berkuasa (will to power)” dan “tubuh” a la DELEUZE (dirintis oleh Schopehauer, Nietzsche, lalu Merleu-Ponty dan P. Ricoeur). Bahkan yang termasuk dalam kategori “yang lain” adalah “rasionalitas komunikatif” Habermasian; “paralogi” a la LYOTARD; “segala bentuk pengetahuan non-ilmiah” versi Feyerabend; “aspek retorik dan sosiologis dunia ilmiah” menurut THOMAS KUHN; hingga berbagai bentuk gerakan Feminisme, holisme ataupun ekologi.

Demikian pendeknya pergeseran fokus terhadap “yang lain” itu, atau yang biasa dikenal sebagai Paradigm Shift beberapa dekade ini kiranya memang telah menggoncang secara radikal segala sistem kategori yang biasa kita gunakan dalam memahami realitas. Akibat yang paling serius agaknya adalah bahwa kita dipaksa mengkaji ulang hakekat konsep-konsep dasar seperti “rasionalitas”, “kebenaran”, “pengetahuan”, bahkan “filsafat” itu sendiri. Barangkali ini salah satu sebabnya mengapa zaman kita ini terasa sangat kontradiktif, over-skeptik, chaotic, bahkan mungkin tergelincir ke belukar schizophrenic.

4. Komunikasi/Dialog
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa filsafat masa kini kehilangan kepastian-kepastian terutama tentang keniscayaan rasionalitas, otonomi subjek dan kemurnian objek. Sistem kategori, aturan, dan kriteria yang biasanya dianggap produk wacana dan tindakan rasional kini dianggap bersifat sementara dan konvensional saja. Makna dan validitas segala bentuk wacana ternyata banyak tergantung pada “bentuk-bentuk kehidupan” yang sangat partikular dan spesifik (Wittgenstein) tapi juga pada karakter “retoris” dan “metaforis” setiap wacana dan tindakan itu (Kuhn. Derrida, Rorty, H. Blumenberg). Cara subjek memahami realitas ternyata juga ditentukan sekali oleh keterikatannya pada dunia objek alias pada “Lebenswelt” yang pra-reflektif dan nonkonseptual (Husserl, Heidegger, Ponty, Tylor). Konsep tentang “evidensi” (self-evident givenness atau “presence”) ternyata sangat ditentukan oleh sistem differensial tanda-tanda kebahasaan (Derrida). Objek pengetahuan pun sebetulnya tak pernah sedemikian netral sebab selalu terbungkus pra-interpretasi, selalu telah disituasikan dalam suatu “skema”, yang merupakan bagian dari “konteks makna” tertentu (Donald Davidson) atau pun bagian dari sebuah “teks” yang juga mengacu pada teks-teks lain tanpa akhir (Derrida).

Ambruknya segala kepastian itulah kini yang agaknya membawa kecenderungan filsafat berubah dari pola monologis menuju dialogis. Itu bisa berupa dialog hermeneutis antar horizon tradisi dan horizon aktual (Gadamer, Ricoeur); dialogis politis yang kritis dan emansipatoris terutama di kalangan para ilmuan ataupun antara perspektif filsafat dan perspektif ilmu-ilmu empiris (Habermas); dialog antar berbagai model pemahaman (G. Madison); dialog antar “Language games” (Rorty, Wittgenstein); dialog dalam bentuk relasi etis asimetris antara saya dan “orang lain” (Levinas); dialog antara rasionalitas dan kegilaan (Michel Foucault), antara rasionalitas dan kehendak/hasrat (Deleuze), antara konsep literal dan metaphor (Heidegger, Ricoeur, Davidson, Madison), tapi juga antara diskursif (konsep) dan pola figural (imaji) sebagaimana diserukan Lyotard.

Posisi Filsafat Kini
Situasi ketidak-tentuan akibat ambruknya berbagai kategori dasar dan berubahnya paradigma tadi pada gilirannya memang membawa krisis mendasar pada jati diri filsafat itu sendiri. Orang suka menganggap bahwa setelah periode “post-metafisika” dan segala “post” lainnya, kini giliran filsafat itu sendiri lenyap, alias “Post-filsafat” (Rorty).

Tentu saja klaim tentang kematian filsafat sangat relatif: tergantung “filsafat” dalam arti apa. Bila filsafat diartikan sebagai “satu-satunya bahasa standard yang paling rasional dan paling mendasar, yang karenanya paling layak mendasari keabsahan segala bentuk pengetahuan”, maka boleh jadi ia kini hanya tinggal ilusi. Tetapi arti tersebut hanyalah menunjuk pada salah satu kemungkinan fungsi filsafat saja. Di sisi lain, kiranya jelas bahwa segenap issue yang telah dikemukakan di depan merupakan tantangan untuk memikirkan ulang dan merumuskan kembali hakekat dan posisi filsafat saat ini. Dalam rangka itu barangkali beberapa gagasan berikut bisa berguna.

Pertama, filsafat bisa tetap dilihat sebagai medan kegiatan dimana rasionalitas mengadakan kritik terhadap dirinya sendiri (Teori Kritis). Dan ini dapat dilakukan dengan cara menyingkap kondisi-kondisi intensionalitas dasar di balik berbagai pola pemahaman kita terhadap realitas (Fenomenologi, Hermeneutika). Artinya, salah satu tugas filsafat yang unik dan sangat penting barangkali terletak pada kecenderungannya untuk mengkaji kembali segala bangunan teoretis pengetahuan berdasarkan pengalaman konkret kita dalam lebenswelt (hidup sehari-hari yang kita alami). Dengan kata lain, filsafat di sini berfungsi sebagai upaya mengartikulasikan atau mengeksplisitkan dimensi-dimensi yang tersembunyi dalam lebenswelt itu (kepentingan, prasangka kebahasaan, kekuasaan, hasrat, sentralitas tubuh, keter-arahan pada orang lain, dll.) ke tingkat kesadaran, dalam rangka pemahaman diri yang lebih kaya tentang manusia. Upaya macam ini barangkali tak akan ada akhirnya.

Kedua, dalam rangka kritik-diri rasionalitas dan artikulasi Lebenswelt itu filsafat sebetulnya perlu bergaul erat dengan kesenian. Seni adalah bentuk refleksi kritis dan jalur artikulasi Lebenswelt juga namun dalam bentuk metaforik. Manakala filsafat menempuh jalur logika konseptual rasional, seni menempuh jalur logika imaji dan sensibilitas yang cenderung intuitif. Manakala filsafat menjelajahi medan kesadaran, seni berpetualang mondar-mandir antara medan kesadaran dan ketaksadaran. Antara keduanya sesungguhnya terdapat hubungan komplementer. Filsafat bisa mendapat nutrisi dan bahan lauk yang sangat vital-substansial dari seni, dan sebaliknya.

Ketiga, adapun terhadap ilmu-ilmu empiris (Human Sciences) filsafat dapat bekerjasama erat dengan berfungsi sebagai: pertama, ia dapat membantu menyingkapkan bentuk-bentuk kemampuan dan pengetahuan prateoritik di balik kompetensi-kompetensi manusia dalam berbicara, memahami, menilai, dan bertindak. Kedua, ia pun dapat memasok gagasan-gagasan yang dapat berfungsi sebagai hipotesa-hipotesa empirik. Ini inspirasi bagus dari Habermas.

Keempat, ketika dalam kehidupan kontemporer saat ini terdapat keterpisahan antara tiga pola reflektif penting yaitu seni, sains dan agama, maka filsafat sebetulnya dapat mengaktifkan hubungan dialetik dan dialogis antara ketiganya. Dengan cara ini filsafat dapat tetap berperan sebagai wahana keutuhan kemanusiaan dan integritas pengetahuan. Selamat membaca!

* Prof. Dr. Ignatius Bambang Sugiharto adalah Dosen Filsafat di Fakultas Filsafat Unpar, menyelasaikan S-3 Filsafat di Universitâ san Tomasso, Roma, Italia. Sekarang menjabat sebagai Presiden Asian Association of Catholic Philosophers dan Sekjen International Society for Universal Dialogue (New York)

Curriculum Vitae
Igantius Bambang Sugiharto lahir di Tasikmalaya, 6 Maret 1956. Menyelesaikan program S1 di Fakultas Filsafat Unpar tahun 1981. Pada tahun 1984 beliau menyelesaikan Program S1 di Fakultas Sastra, Jurusan Filsafat Universitas Indonesia. Mendapat gelar Licensiat (Magna cum Laude) dari Universitâ san Tomasso, Roma, Italia tahun 1992, dan meraih gelar Doktor Filsafat (Summa cum Laude) dari universitas yang sama tahun 1994.

Beliau mengajar di Universitas Katolik Parahyangan sejak tahun 1984 terutama di Fakultas Filsafat, kemudian mengajar juga di program Pascasarjana, sambil menjabat sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Filsafat hingga saat ini. Selain itu, beliau mengajar di program Pascasarjana Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB dan FSRD Maranatha.

Tulisan-tulisan beliau tersebar dalam berbagai buku, nasional maupun internasional, juga dalam berbagai media dan jurnal (Kompas, Tempo, Suara Pembaruan, Basis, Kalam, dsb). Beliau juga sering membawakan makalah dalam berbagai fora, nasional maupun internasional (Canada, Amerika, Denmark, Finlandia, Yunani, Korea, Jepang, China, Meksiko, dsb).

Aktif terlibat dalam berbagai organisasi dan proyek penelitian Internasional, antara lain: Presiden, Asian Association of Catholic Philosophers; Sekjen, International Society fo Universal Dialogue (New York); Research Fellow, Centre International Pour L’étude Comparée de Philosophie at D’esthétique (Tokyo & Copenhagen); Research Fellow, The Council for Research in Values and Philosophy (Washington DC); Research Fellow, Institute for Advanced Study of Asian Cultures and Theologies (Hongkong); anggota, International Society for Metaphysics (Washington DC); anggota, Asosiasi Ahli Filsafat Indonesia (ASAFI); Anggota, Himpunan Dosen Etika Indonesia (HIDESI). Ketekunannya di bidang filsafat membuahkan hasil. Pada tanggal 16 Desember 2006 beliau dikukuhkan sebagai Guru Besar Filsafat Universitas Katolik Parahyangan.