Didik Darmanto**
"…....mengapa umat manusia, bukannya memasuki kondisi manusia yang sejati, justru tenggelam ke dalam barbarisme baru."
(Horkheimer dan Adorno)
Abstraksi:
Kebringasan sosial yang terjadi beberapa tahun terakhir menjadi nota bukti, bahwa masyarakat sedang dalam kondisi sakit. Ketidakbecusan ilmu dan ilmuwan sosial dalam menterjemahkan dan memformulasikan persoalan memperparah keadaan. Padahal pilihan akan masyarakat yang sehat nalarnya adalah jelas. Tulisan ini, dengan bahasanya yang berapi-api tipically-nya mahasiswa, mengajak untuk memiliki sikap yang tegas terhadap ilmu dan ilmuwan sosial. Karena selama ini ilmu sosial macet, tidak mampu berperan sebagai penjaga masyarakat (the guardian of society).
Masyarakat yang Sakit
Secara sadar kita merasakan bahwa saat ini masyarakat sedang dalam kondisi sakit. Dengan kata lain, masyarakat dilanda krisis multi dimensi yang menghebat. Masyarakat telah kehilangan pegangan hidup karena tumbangnya aturan sosial (social order) lama, sedangkan aturan sosial baru belum lahir. Andaikata social order yang baru telah terbentuk, pun belum kokoh untuk dijadikan pegangan hidup masyarakat. Keadaan seperti inilah yang kemudian dalam kaca surya kanta ilmu sosial sering dinamakan dengan periode anomali. Yakni suatu masa di mana masyarakat berada dalam kondisi kebingungan akibat serba ketidakpastian yang kadang-kadang membuatnya menjadi beringas.
Kebringasan sosial telah menjadi catatan tersendiri sebagai nota bukti bahwa masyarakat benar-benar sakit, dalam taraf sekarat, mungkin hampir mati. Riak-riak konflik menyeruak di tengah masyarakat. Sulit untuk dikalkulasi ongkos yang harus dibayar akibat adegan konflik yang berkepanjangan selama ini, karena tingginya intensitas konflik dan meluasnya konstituen konflik. Konflik yang marak terjadi dalam kurun waktu lima tahun terakhir telah menciptakan jutaan pengungsi yang nelangsa, ribuan anak terlantar tanpa kehidupan layak, timbulnya gelombang pengangguran, ledakan kemiskinan, dan kebodohan massal.
Liberalisasi yang dijalankan untuk menyongsong era perdagangan bebas tahun 2010 mendatang turut memperparah kondisi masyarakat yang sedang sakit ini. Di mana penjajahan terhadap alam pikiran dan kesadaran sedang terjadi, sehingga masyarakat kehilangan nalar dan otonomi pikirannya. Masyarakat yang kehilangan nalar dan otonomi pikiran oleh C. Wright Mills, anak nakalnya sosiologi Amerika Serikat yang berperspektif kritis, disebutnya sebagai robot-robot girang (cheerful robot) yang distir oleh kaum penguasa kapital, sutradara liberalisasi. Tanpa pernah disadari kalau hilangnya nalar dan otonomi pikiran menjadi persoalan serius, karena penjajahan nalar dan pikiran bekerja pada level bawah sadar. Sehingga masyarakat merasa dalam keadaan baik-baik saja, meskipun mereka selalu ditindas dan dijadikan kaum penggembira semata.
Tenggelamnya Ilmu Sosial
Sakitnya masyarakat bukan tanpa sebab, pasti ada rangkaian yang membuatnya dalam kondisi krisis yang memprihatinkan. Tulisan ini tidak akan mendedah penyebab sakitnya masyarakat secara menyeluruh. Setidaknya gugatan terhadap peranan ilmu-ilmu kemasyarakatan dalam menyelesaikan persoalan masyarakat akan mampu memberikan gambaran terang seputar sakitnya masyarakat kita. Karena ada dugaan, bahwa ilmu kemasyarakatan juga turut andil dalam proses pembusukan masyarakat.
Anggapan yang berkembang saat ini, bahwa ilmu-ilmu kemasyarakatan baik ekonomi, politik, sejarah, maupun sosiologi telah gagal. Ilmu kemasyarakatan yang lebih lazim disebut dengan ilmu sosial, dan tulisan selanjutnya akan menggunakan term tersebut, dirasa berada dalam keadaan tenggelam. Artinya, ilmu-ilmu sosial sendiri dalam keadaan krisis, kehilangan jati diri, kurang confidence, dan yang jelas tidak mapan.
Berbicara soal perkembangan ilmu sosial, dalam konteks Indonesia, belum terjadi kemajuan yang signifikan. Meskipun gegap gempitanya semangat reformasi telah membuka kran informasi dan komunikasi, di mana seharusnya kebutuhan akan perkembangan wacana sosial, perspektif dan teori-teori baru dapat terpenuhi. Dalam keadaan yang lebih kondusif bagi perkembangan ilmu seperti saat ini, jika dibandingkan dengan jaman Orde Lama dan Orde Baru yang melakukan penetrasi terhadap perkembangan ilmu dan ilmuwan sosial, seharusnya ilmu-ilmu sosial mulai bergeliat.
Ilmu sosial benar-benar mengalami ancaman serius, bukan sekedar ancaman kemandegan yang berarti masih bisa punya harapan untuk kembali ditegakkan, melainkan ancaman kematian ilmu sosial. Di mana ilmu sosial kehilangan hakekatnya sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Dan salin rupa menjadi sebuah kekuatan rezim yang membela kekuasaan dan meninggalkan realitas masyarakatnya. Ancaman serius bagi ilmu sosial, baik ancaman kemandegan ataupun kematian, secara geris besar terletak pada dua hal. Pertama, krisis ilmu sosialnya itu sendiri. Kedua, krisis pada ilmuwan sosialnya.
Dalam tataran krisis ilmu sosial, berarti kita membicarakan epistemologi dan jati diri dari ilmu. Jati diri ilmu sosial di Indonesia yang berkembang saat ini tidak pernah bisa lepas pada; pertama, status Indonesia sebagai negara bekas jajahan. Selama tiga setengah abad dijajah, ilmu sosial Indonesia tidak bisa berkembang sesuai dengan dinamika internalnya. Melainkan lebih ditentukan oleh dinamika eksternalnya. Ilmu sosial yang ada merupakan warisan penjajah jahat Eropa, sehingga diibaratkan ilmu sosial sekedar menggantung. Yakni tidak mampu menterjemahkan persoalan-persoalan sosial karena memang tidak sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakatnya.
Kedua, persoalan mendasar yang menentukan langkah gerak ilmu sosial terletak pada roh yang menjiwainya. Menyoal yang mengompori ilmu sosial, kalangan teori kritik masyarakat yang akrab disebut teori kritik, menyebutkan bahwa roh positivisme telah menghegemoni perkembangan ilmu sosial. Dugaan roh positivisme menyusup pada ilmu sosial di Tanah Air pun tak terelakkan. Dugaan itu bukan tanpa sebab, mengingat pemikiran-pemikiran Rostow mengenai The Stages of Economic Development juga tesis Talcott Parson tentang sistem sosial telah mengepung alam pikiran ilmu sosial kita. Arus pemikiran yang evolutif atau pragmatis merupakan dua hal yang populer di kalangan ilmuwan sosial kita. Dan akar dari kedua pemikiran tersebut tidak lain dapat kita temukan dalam tradisi berpikirnya positivisme. Lebih lanjut seputar roh positivisme akan dibahas kemudian.
Ketiga, korporatisasi negara sebagai formula politik represif yang dianut rezim Orde Lama dan Orde Baru telah mematikan kreatifitas ilmuwan sosial untuk memutar dinamika ilmu sosial. Sangat naif jika ilmu sosial diharapkan maju, sedangkan negara dengan represifitasnya memungut pajak buku, mempersempit ruang publikasi wacana, memberangus budaya dialektika, dan mengharamkan sikap kritis terhadap penguasa dengan ancaman bedil dan undang-undang subversifnya.
Roh Positivisme: Elitisme Ilmu Sosial
Dari ketiga hal yang menyebabkan ilmu sosial menderita krisis, penulis menuduh kuat bahwa roh positivisme yang mendiami jasad ilmu-ilmu sosial memiliki andil paling besar. Ancaman kemandegan dan kematian akan menjadi kenyataan jika roh yang menjiwai ilmu sosial tidak kita kritisi. Sehingga menggugat keberadaan positivisme menjadi hal yang penting untuk mendekonstruksi kembali kemapanan ilmu-ilmu sosial yang selama ini mandeg.
Positivisme sebagai roh dari ilmu sosial telah membuat ilmu sosial gagal mengemban tugasnya. Ilmu sosial tidak mampu menangkap persoalan yang berkembang di masyarakat dan berbuat yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Kegagalan ilmu sosial mengemban tugas sucinya sebagai penjaga nilai-nilai masyarakat, karena positivisme menggiring ilmu sosial untuk menjauh dari kehidupan praxis yang ada. Dengan harapan ilmu sosial bakal menemukan obyektivitas yang bebas nilai, ketika harus bersikap a-historis dengan jalan menjauhkan diri dari masyarakatnya.
Tidak tajamnya ilmu sosial dalam menterjemahkan dan memformulasikan gunungan persoalan masyarakat bermula dari positivisme dengan klaim bebas nilainya yang membawa konsekuensi ilmu sosial harus menjauh dari realitas masyarakat. Padahal dalam pemikiran Yunani purba antara pengetahuan dan praxis masyarakat ibarat dua sisi mata uang, keduanya sama sekali tidak dapat dipisahkan. Bahkan pertautan pengetahuan dengan kehidupan praxis telah menjadi sebuah tradisi, yang kemudian tradisi tersebut populer dengan istilah bios theoritikos. Baru setelah positivisme menghegemoni dunia ilmu-ilmu sosial tradisi bios theoritikos yang dilandaskan pada rasa kebaikan, kebahagiaan, dan kemerdekaan itu punah. Dan positivisme telah membangun dinding tebal antara pengetahuan dengan kehidupan praxis masyarakat.
Sikap positivisme yang a-historis dengan mengambil jarak antara pengetahuan dengan kehidupan praxis telah membuat ilmu sosial menjadi elitis. Ilmu sosial seperti tak tersentuh yang hanya duduk di singgasana menara gading ilmu. Ilmu sosial hadir dengan demonstrasi wacana, menjual bualan yang tidak ada relevansinya dengan kebutuhan masyarakat. Positivisme sekedar menyajikan pengetahuan demi pengetahuan, tidak untuk kemaslahatan umat.
Sikap mengambil jarak antara pengetahuan dengan praxis membuat ilmu sosial mengawang-awang, tidak menyelesaikan persoalan. Seharusnya untuk menjadi bebas nilai ilmu sosial tidak harus bersikap mati rasa terhadap kenyataan. Pembersihan ilmu pengatahuan dari kepentingan dengan cara memisahkan dari praxis merupakan perbuatan konyol dan keji yang terus dikampanyekan oleh positivisme. Dan selama itu pula ilmu sosial mengalami kemacetan fungsi dan peranan. Meskipun demikian positivisme bangga dengan sikap a-historisnya. Bahkan positivisme telah menjadikan sikap a-historisnya sebagai merk dagang. Mereka beranggapan, bahwa hanya dengan cara menarik diri dari praxis ilmu sosial dapat mencapai maqom ilmu pengetahuan yang obyektif dan bebas nilai.
Dengan sikap a-historisnya pula positivisme mengklaim bahwa teorinya bersifat universal. Maksudnya dapat dipakai di mana saja secara transendental dan suprasosial. Positivisme lupa atau tidak ingin tahu bahwa kehidupan tiap masyarakat adalah berbeda-beda, sehingga mereka tidak percaya terhadap teori-teori parsial dan kecil. Positivisme hanya mengakui kebenaran sebuah teori besar (grand theory) yang dinilai berlaku universal. Dengan klaimnya tersebut, teori-teori yang terlahir dari rahim positivisme diterapkan dalam berbagai situasi dan kondisi yang belum tentu sesuai.
Contoh kasus konkrit adalah perihal teori tahapan perkembangan ekonominya Rostow. Di tangan rezim Orde Baru yang teknokratis, yang merupakan salah satu ciri khas dari positivisme dengan techno-metod-nya, mengadopsi mentah-mentah teori tersebut. Tanpa didahului dengan pemahaman terhadap struktur masyarakatnya para penguasa negara dan antek-antek ekonomnya, yang kebanyakan positivis jebolan Amerika yang biasa disebut dengan mafia Berkeley, cukup yakin dengan kebenaran universal sebuah teori. Dan akhirnya mereka pun terperanjat kaget ketika krisis moneter melanda Indonesia pada tahun 1997. Harapan untuk segera mencapai tahapan akhir tinggal landas sebagaimana dijanjikan Rostow hanya menjadi kenangan. Ini bukti mutakhir bahwa asumsi kaum positivis perihal kepercayaannya terhadap teori besarnya (grand theory) yang bersifat universal itu terbantahkan.
Jika kita runut, pilihan positivisme untuk tetap menjaga jarak dengan praxis merupakan buah dari sifatnya yang naturalis. Yakni positivisme sangat fanatik dengan ilmu-ilmu alam. Sehingga positivisme ingin menjadikan cara berpikir dan metode kerja ilmu sosial a la ilmu alam yang natural dan pasti. Positivis menganggap obyektivitas ilmu sosial yang bebas nilai hanya tercapai ketika segala fenomena sosial dapat dijelaskan secara terukur dan terprediksi, sebagaimana halnya dalam ilmu alam yang serba pasti dan terprediksi. Dengan bahasa singkat, positivisme menganggap semua fenomena sosial hanya terjadi melalui rangkaian sebab-akibat yang terukur.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa penerapan metode ilmu alam ke dalam metode ilmu sosial adalah salah kaprah. Karena secara filosofis fenomena alam sangat berbeda dengan fenomena sosial. Fenomena alam yang serba pasti dan terprediksi itu beda jauh dengan fenomena sosial yang terdiri dari tindakan-tindakan manusia yang tidak menentu. Sehingga fenomena sosial tidak dapat diletakkan dalam satu bingkai hukum-hukum kaku sebagaimana dalam fenomena alam.
Pada awalnya positivisme lahir untuk mengganyang segala bentuk mitos terhadap roh-roh jahat, dedemit, genderuwo, setan dan kekuatan-kekuatan gaib lainnya. Mitos-mitos tadi dibongkar dengan kecanggihan ilmu yang serba terlihat dan terkuantifikasi. Semuanya dianggap tidak rasional manakala tidak dapat dijelaskan dengan angka-angka. Namun dengan klaim kebenaran ilmu dan rasionalitasnya, positivisme telah menciptakan mitos baru. Rasionalitas yang ditawarkan positivisme merupakan ilusi belaka, karena menggiring masyarakat pada mitos baru yang didasarkan pada metodologi yang matematis. Menurut Adorno dan Horkheimer, begawan teori kritik, cara berpikir positivis dengan metode ilmu alam sebenarnya telah menjadi mitos baru yang lahir dari mitos lama yang sebenarnya telah ditaklukkan. Dengan kata lain, selama ini masyarakat belum pernah terbebaskan dari kungkungan mitos, yang terjadi hanya sekedar pengalihtanganan kekuasaan mitos. Yakni dari mitos roh-roh gaib, genderuwo, setan, dan demit yang dikuasai kalangan rohaniawan-spiritual menuju mitos klaim kebenaran berdasarkan metodologi tunggal (monisme methodology) yang dipandegani kalangan positivis.
Metodologi tunggal (monisme methodology) selain memonopoli kebenaran juga membuat rancu perbedaan antara pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Kesadaran bahwa ilmu pengetahuan merupakan bagian dari pengetahuan telah hilang. Sehingga kalangan positivis berhasrat untuk mengilmupengetahuanisasi (saintisme) semua pengetahuan. Proyek pengilmupengetahuanisasi (saintisme) pengetahuan ini berlangsung dengan cara-cara manipulatif metodologi. Dapat dikatakan metodologi positivis yang matematis itu sekedar alat legalitas bahwa ilmu pengetahuan itu sahih. Sehingga positivisme seringkali salin rupa menjadi anjing penjaga kekuasaan status quo. Dengan berlindung di balik selubung obyektivitas dan kebebasan dari kepentingannya positivisme mencipta ilmu pengetahuan sesuai dengan pesanan.
Mempertanyakan Idealisme Intelektual
Jika dalam tataran ilmu peroalan roh yang menjadi jiwa jadi pokok persoalan utama, jelas di sini tuduhan kita arahkan pada positivisme yang sekian tahun terakhir ini menghegemoni ilmu pengatahuan. Sedangkan pada tataran ilmuwannya persoalan komitmen sosial dan moral sang ilmuwan menjadi bahasan utama. Pembahasan tentang ilmuwan sosial berikut tidak akan keluar dari persoalan roh positivisme yang menjiwai ilmu sosial. Karena perilaku ilmuwan sosial tidak akan pernah bisa terlepas dari paradigma berpikir yang dianutnya.
Dengan alasan tidak ingin berkubang dalam praktek onani inteletual para ilmuwan keluar dari dunia asketisme. Mereka merambah dunia praktis dan menjadi bagian dari mesin kekuasaan. Sungguh pilihan yang bijaksana jika masuknya ilmuwan sosial ke dunia praktis dengan alasan untuk tidak sekedar berwacana. Akan tetapi dalam perjalanannya justru niatan nafsu pribadi (vesteed interest) dan mentalitas budak ilmuwan sosial kita lebih menjadi dasar tindakan.
Sampai dengan detik ini ilmuwan sosial kita tidak pernah bisa beranjak dari mentalitas budaknya. Mentalitas budak yang oleh Niethzie disebut dengan sklaven mentalitat itu membuat ilmuwan sosial harus menghamba pada kekuasaan. Pada akhirnya ilmuwan sosial hanya menjadi antek-antek penguasa, baik penguasa ekonomi, politik, sosial, maupun penguasa budaya. Menurut sosiolog Robert Brym dalam bukunya yang bertajuk Intelektual dan Politik, disebutkan bahwa semakin terserapnya kaum intelektual dalam berbagai bagian dari kekuasaan mengindikasikan tamatnya kaum intelektual.
Sikap kritis sebagai ciri khas intelektual telah hilang. Mereka tidak mampu lagi meluruskan das sein yang melenceng dari das sollen. Mentalitas budak telah mengubah tradisi akademisi kritis menjadi tradisi akademisi developmentalis, sehingga kalangan ilmuwan sosial berhenti berpikir dan berdebat kritis. Mereka mengalami kemandegan dan statisme karena tenggelam dalam derap pembangunan yang gegap gempita. Saat ini memang tidak ada bedanya ilmuwan sosial dengan WTS di Pasar Kembang. Mereka sama-sama melacur, bedanya WTS melacurkan tubuhnya sedangkan para ilmuwan sosial melacurkan ilmu pengetahuan.
Ilmuwan sosial yang karena nafsu pribadinya dan mentalitas budaknya menjadi bagian dari kekuasaan akan mengalami kemandegan, menjadi statis, cenderung pragmatis, bahkan oportunis. Sedangkan ada sebagian ilmuwan sosial yang menjaga diri dari persoalan praktis, mereka cukup bangga dengan pembahasan wacana akademik tanpa menyentuh realitas. Ilmuwan sosial semacam itu pun tidak punya kontribusi untuk membangkitkan ilmu sosial dari keterpurukan. Karena di tangannya ilmu sosial hanya akan mengawang, tidak menyentuh pokok persoalan. Bahkan cenderung konservatif dengan mengagung-agungkan klaim kebenaran universal dari teori-teori besar, sehingga sebuah paper yang membahas tentang perkembangan masyarakat belum dianggap sahih dan sembrono manakala tidak mencantumkan nama Comte.
Berangkat dari kemandegan ilmuwan sosial positivis itulah teori kritis angkat bicara. Dalam tradisi teori kritis, ilmuwan sosial tidak harus a-historis dengan cara lari dari realitas, melainkan menekankan sikap kritis. Bagi teori kritis untuk mengembangkan ilmu sosial sikap kritis tidak dapat diabaikan. Karena hanya dengan sikap kritis ilmuwan sosial dapat semakin mengetahui ke arah mana mereka berkembang dan sejauh mana mereka maju. Dapat dikatakan tradisi kritis merupakan metode untuk menjaga asketisme ilmuwan sosial, meskipun berkiprah di dunia praktis, sehingga kesahihan ilmu sosial akan tetap terjaga.
Wacana Penutup
Kenyataan bahwa masyarakat kita sedang sakit tidak bisa dipungkiri. Ketidakbecusan ilmu sosial dalam menterjemahkan dan memformulasikan persoalan memperparah keadaan. Pilihan akan masyarakat yang sehat nalarnya adalah jelas. Dan sikap kita terhadap ilmu sosial saat ini pun harus tegas, agar dapat berperan sebagai penjaga masyarakat (the guardian of society) menyongsong era liberalisasi.
Roh positivisme yang selama ini menjiwai ilmu sosial harus disikapi secara kritis dan proporsional. Prinsip-prinsip klaim kebenaran tunggal, teori-teori besar yang bersifat universal, kebebas-kepentingan, jebakan techno-methodology, dan adopsi pemikiran ilmu alam (naturalis) secara membabi buta membuat ilmu-ilmu sosial tidak mampu menjawab tantangan jaman. Dapat dikatakan ilmu sosial seribu langkah tertinggal di belakang kenyataan sosial. Untuk itulah upaya dekonstruksi terhadap roh yang menjiwai ilmu sosial kita sangat diperlukan.
Dan teori kritis menawarkan jawaban untuk mendekonstruksi roh ilmu sosial itu. Mengapa harus teori kritis? Karena secara historis kelahiran teori kritis memang dalam rangka mendongkel mitologi-mitologi ilmu pengetahuan. Teori kritis adalah ilmu sosial yang mengusahakan pencanggihan nilai-nilai nalar dan kebebasan pikiran untuk memilih yang sangat diperlukan di masa depan. Dan teori kritis mentransformasi para ilmuwannya untuk bergelut dan bergelimang dalam lumpur realitas sehari-hari dengan tetap menjaga tradisi kritis untuk menjaga kesahihan ilmunya.
** Penulis adalah EditorYouth Institute for Critical Studies (YICS), bulan Agustus 2004 mendatang resmi menjadi anggota KAGAMA (Keluarga Alumni Gadjah Mada) dari Jurusan Sosiologi Fisipol UGM.
Referensi
¨ Al-Makassary, Ridwan, Kematian Manusia Modern Nalar dan Kebebasan Menurut C. Wright Mills, UII Press, Yogyakarta, 2000.
¨ Benda, Julian, Pengkhianatan Kaum Cendekiawan, Gramedia, Jakarta, 1997.
¨ Brym, Robert, Intelektual dan Politik, Grafiti, Jakarta, 1997.
¨ Hardiman, Francisco Budi, Kritik Ideologi Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, Kanisius, Yogyakarta, 1990.
¨ Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid 1 dan 2, Gramedia, Jakarta, 1986.
¨ Mannheim, Karl, Ideologi dan Utopia Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, Kanisius, Yogyakarta, 1991.
¨ Subangun, Emmanuel, dari Saminisme ke Posmodernisme, CRI Alocita, Yogyakarta, 1994.
No comments:
Post a Comment